Dalam banyak negara di Barat, Anda terpisah dari pengolahan limbah. Anda memasukkan sampah ke tong sampah dan secara ajaib itu menghilang. Seseorang datang untuk itu. Anda tidak harus berpikir tentang hal itu, karena semuanya sudah diatur. Di sini, karena sebenarnya tidak ada sistem pengelolaan sampah make Anda harus memikirkannya. Anda dihadapkan dengan hal itu. Jadi meskipun masalahnya benar-benar buruk, ada juga sisi positif, karena Anda harus mengakui masalah dan berurusan dengannya. Jadi dilihat dari sisi itu, benar-benar ada kesempatan untuk orang menghadapi konsumsi mereka, polusi mereka. Bali memiliki masalah setiap tahun pantai kami setiap satu tahun sekali penuh dengan sampah plastik, misalnya di Kuta Menurut pemerintah, ini disebabkan pasang laut. Ini bukan tentang pasang laut menurut saya, tetapi orang masih membuang sampah plastik ke sungai atau ke kanal dan sampah mengalir ke laut, laut akan membawanya kembali ke darat. Pengelolaan limbah seperti tanah tanpa tuan, iya kan? Maksud saya, Anda hampir dapat melakukan apapun yang Anda inginkan tanpa pernah tertangkap. Tetapi masalah sampah mempengaruhi semua orang, baik kaya maupun miskin, dan jika Anda tidak bisa menghadapi masalah dasar itu—polusi dari limbah Anda—maka bagaimana Anda akan berurusan masalah besar dan lebih kompleks, seperti deforestasi penghancuran terumbu karang, dan perubahan iklim. Maksud saya, ini adalah masalah yang lebih mudah untuk ditangani. Jika Anda berbicara tentang masalah limbah di Bali, dari perspektif saya Anda bisa berdebat tentang hal itu, tapi sebenarnya budaya asli orang Bali adalah benar-benar bersih, dalam rumah tangga mereka. Mereka bangun dini hari, jam 5:00 pagi, dan sudah mulai membersihkan rumah serta halamannya, dan sebelum matahari terbenam, mereka melakukan yang sama mereka bersih-bersih dan membuang semua sampah ke suatu lahan yang disebut "tegalan," lahan di mana Anda menanam atau memelihara sesuatu, Anda memelihara babi di sana atau yang lain. Ada lahan khusus untuk menempatkan semua sampah. Tetapi jaman dulu seperti 25 atau 30 tahun yang lalu, sebagian besar dari sampah adalah organik dan orang Bali, kebanyakan orang Bali, masih melakukan praktek budaya ini, hanya bahan sampah telah berubah. Sekarang sampah berisi plastik. / "Limbah" merupakan konsep buatan manusia. Tidak ada konsep itu sebelum tahun 50-an dan 60an. Semua sampah adalah organik, dan tidak ada banyak materi buatan manusia. Dulu kebanyakan benda akan dibungkus daun pisang. Misalnya, canang (persembahan ritual), persembahan harian yang saat ini bisa dibeli di pasar, sekarang dibungkus dalam kantong plastik "single use", yang sangat tipis, plastik kepadatan tinggi yang digunakan sekali saja, kemudian dibuang karena kantongnya terlalu tipis untuk digunakan ulang. Dulu, semua canang akan dibungkus dalam daun pisang. Tapi mungkin apa yang terjadi juga disebabkan perubahan gaya hidup - makanan juga dulu dibungkus daun pisang - perubahan gaya hidup ini disebabkan banyaknya produk tersedia di pasar sekarang. Di masa lalu, saya tidak berpikir bahwa persembahan, misalnya, akan dijual sesering sekarang. Tetapi saat ini, banyak orang bekerja, langsung atau tidak langsung, di dalam industri pariwisata, sehingga semakin sering orang harus membeli barang-barang yang dulu mereka tidak perlu membelinya. Dulu tidak ada kebutuhan temporer seperti sekarang. Secara tradisional di Indonesia, dan tentu di Bali, kebanyakan orang tidak ingin membayar pembuangan sampah. Mereka tidak pernah memiliki layanan itu. Mereka terbiasa membuang sampah di belakang rumahnya, membakarnya, atau membuang ke sungai, dan kebiasaan itu menjalar ke kelakuan bisnis. Orang-orang memiliki restoran atau hotel dan mereka mengambil pendekatan yang sama. Mereka hanya ingin "mengeluarkannya" dan tidak pernah berpikir harus membayar untuk pengelolahan limbah. Hanya perlu membuangnya ke lahan terbuka atau ke sungai, dan selesai. Situasi ini semakin rumit karena banyak hotel besar menghasilkan limbah yang besar, tapi ada banyak barang berharga juga di dalamnya. Jadi ada sektor pemulungan yang tidak resmi yang menawarkan kepada hotel dan perusahaan, "Kami melayani pengumpulan sampah, gratis, dan kami akan membeli sampah Anda." Tetapi mereka tidak benar-benar membeli sampah. Mereka membeli akses ke barang-barang daur ulang. Mereka mengambil barang bernilai, dan yang tidak bernilai, tebak kemana akan dibuang: ke sungai, pinggir jalan, kemana saja. Anda benar-benar mendapat apa yang telah Anda bayarkan, dan jika limbah dijual atau pengumpul sampah dibayar sedikit saja, pulau ini akan menjadi kotor. Dan bagi sektor pariwisata, jelas kepentingan mereka untuk tidak mempunyai pulau yang kotor. Jadi mereka harus mulai sadar jika ingin limbah benar-benar diurus, sampah yang tidak bernilai harus dikenakan biaya pengelolaannya. Masalah lain di Bali bahwa sampah plastik sering dibakar. Ini dapat membuat banyak masalah. Penyakit pernafasan adalah yang paling umum di Bali. Ketika asap sampah plastik yang sedang dibakar dihirup oleh orang, khususnya pada kecepatan pembakaran biasa - karena ini bukan pembakaran panas tinggi yang tidak beracun seperti yang panas rendah - biasanya gundukan sampah terbakar lambat dan membara lama, sehingga bisa mengakibatkan banyak masalah kesehatan manusia dan kualitas udara. Pikirkan semua barang yang kita punya, yang benar-benar tidak bermanfaat. Misalnya kantong plastik yang digunakan selama 15 menit, kemudian akan bertahan sampai turun temurun. Itu benar-benar gila. Dan tidak hanya kantong plastik, tapi ada juga pipet plastik dan botol plastik...Kenyataan bahwa sebuah botol plastik biasa yang berukuran 600ml - menghabiskan minyak seperempat berat bersihnya untuk menghasilkan botol tersebut, itu sangat membingungkan. Ketika Anda membeli air dalam botol plastik, Anda tidak membeli airnya, tetapi minyak mentah. Di Bali, orang tidak menyadari berapa banyak botol yang dibuang. Dari botol air saja, ada lebih dari 3 juta botol yang dibuang per hari, itu belum mencakup semua jenis botol minuman lain, dari minuman soda sampai minuman energi dan sebagainya. Meskipun Anda mampu mendaur ulang sampai 90%, masih akan ada 300.000 botol yang dibuang ke lingkungan setiap hari. Ini tidak dapat diterima. Ini omong kosong. Di Bali kami menghasilkan 20.000 meter kubik limbah setiap hari. Jika rata-rata 15% dari jumlahnya berbahan plastik, berarti kami menghasilkan 3.000 meter kubik limbah plastik setiap hari. Menurut saya plastik adalah sumber daya yang sangat berharga. Bahannya ditambang, minyak dibor dari tanah dan menjadi produk yang sangat berguna, jadi harus benar-benar dihormati sebagai sumber daya terbatas, dan digunakan terus menerus. Argumen kami sebagai kampanye tidak berhubungan langsung dengan plastik, melainkan dengan kebiasaan konsumsi, dan kebiasaan kami terhadap budaya temporer yang telah diciptakan. Orang-orang datang ke Bali dan mereka telah melihat brosur, pernah mendengar atau membaca tentang Bali, dan mereka sudah memiliki "gambar" Bali, dan mereka telah cukup terkejut melihat apa yang terjadi, seperti apa situasi yang sebenarnya. Ada cerita ketika saya diminta membantu hotel yang mempunyai masalah sampah yang dibuang persis di depan pintu masuk. Ada pembuangan sampah besar yang dibakar hampir setiap hari, dan asap berhembus langsung ke lobi hotel, melalui restoran, sampai pantai. Dan jelas itu tidak bagus untuk bisnis. Jadi mereka telah menghubungi setiap kantor pemerintahan bahkan meskipun menelepon ke kantor gubernur untuk minta bantuan menangani masalah ini, tidak banyak yang bisa dilakukan. Karena parahnya masalah, mereka minta bantuan kami. Saya mengunjungi hotel untuk melakukan survei singkat, Waktu itu, saya bekerja di LSM, dan hotel bersedia membayar kami untuk melakukannya. Jika kami tahu berapa banyak uang yang sudah hotel habiskan, kami akan meminta biaya yang lebih besar. Tapi kami melakukan survei, dan apa yang kami temukan adalah sebagian besar sampah yang dibakar di depan hotel dimiliki hotel sendiri, Ternyata, hotel telah membuat masalahnya sendiri. Dan itu diakibatkan penjualan sampah hotel kepada pemulung lokal, dia hanya mau mengambil apa yang berharga, dan sisanya dibuang di timbunan sampah yang lama. Kebetulan, timbunan sampah itu berada sebelum hotel dibangun. Pihak hotel tidak pernah menyeberang jalan untuk melihat timbunan sampah, mereka seharusnya melihat logo hotel. Reaksi mereka pada awalnya akan adalah, "Kami harus memecat orang ini." Dan saya sarankan "Itu tidak akan berhasil. Jika Anda mengantinya dengan orang lain, situasi akan tetap sama. Sumber masalah ini bukan pemulung. Masalahnya adalah Anda meminta dia untuk membayar sampah ini. Seharusnya Anda membayar dia untuk membawa sampah ke TPA yang tepat. Inilah ide yang baru bagi mereka. Mereka telah terbiasa menjual sampah mereka. Itu benar-benar gila! Dan mereka sadar sistem harus diubah, dan itu keputusan mudah karena mereka telah mengalami kerugian puluhan juta rupiah per hari. Mereka kehilangan banyak sekali uang. Jadi untuk beralih dan membayar seorang pemulung beberapa juta rupiah per bulan untuk mengurusnya, itu masuk akal. Setiap tahun, Bali dikunjungi kira-kira 4 juta wisatawan domestik dan 3 juta wisatawan internasional. Selain itu, Bali memiliki jumlah populasi yang hampir mencapai 4 juta. Jadi bisa dibayangkan bahwa sumber daya yang digunakan setiap wisatawan adalah 4 kali lebih banyak dari orang lokal. Apa yang akan terjadi dengan semua sampah mereka dihasilkan mereka? Mungkin ada TPS yang terletak di tepi sungai, dan jelas mengapa semua sampah ini berakhir di laut. Itu mungkin datang dari tempat-tempat di mana Anda tinggal, atau makan. Salah satu pendukung utama yang menentang pembuangan ilegal sering mengulangi kutipan, "mereka menghasilkan uang di Ubud, dan kami mendapatkan sampahnya". Mungkin karena lokasinya, dan juga perjanjian dan penerimaan dari pengambil keputusan sebelumnya untuk memungkinkan sampah masuk. Jadi mereka berkata, "Wah, hebat! Kita memiliki tempat, dan ada kesepakatan, dan lihat: Sampah kami sebenarnya membantu Anda untuk membangun jalan baru, itu akan menghubungkan tanah-tanah yang sebelumnya tidak terjangkau". Jadi, saya benar-benar percaya bahwa mereka merasa ada pertukaran yang saling menguntungkan. Hanya baru-baru ini, mereka menyadari kesepakatan ini mungkin tidak begitu bermanfaat, dan menghentikan itu, dan sebetulnya kepala desa mampu melaksanakan penghentian, mendukung dan mewujudkannya. Pemerintah Bali telah membuat sebuah rancangan: "Bali Go Clean and Green". Ini adalah agenda utama dalam pemerintah kami sekarang; bagaimana untuk membuat Bali lebih berkelanjutan, lebih eko, lebih hijau, iya kan? Sebenarnya kalau kami lihat rancangannya, itu sudah bagus. Perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang sudah bagus. Kemudian kebijakan perencanaan ini didasarkan pada 3 agenda utama. Pertama: pendidikan, formal maupun informal. Yang kedua, melibatkan sektor swasta, seperti perusahaan yang beroperasi di Bali. Pariwisata adalah industri yang paling besar, tetapi sampah dan polusi juga diakibatkan industri besar. Dan yang ketiga adalah menyangkut tindakan masyarakat. Sebenarnya ada banyak orang yang peduli masalah ini tetapi mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan, dan mereka frustrasi dengan keadaannya. Tetapi ketika diberikan contoh-contoh seperti ini, kemudian mereka ingin bergabung, dan itu yang sedang terjadi sekarang. Saya rasa ada banyak gerakan akar rumput di Bali, baik didirikan oleh LSM maupun komunitas lokal, yang sudah membangun gerakan tepat dan memberi penyadaran kepada penduduk lokal bagaimana memisahkan sampah dan membuat kompos dari sampah organik. Tapi sekarang, menurut saya, ini masih gerakan kecil. Jadi, supaya akan berhasil, kami harus melibatkan—atau memberikan tekanan sosial— pemerintah untuk membuat undang-undang daerah, seperti "perdau" atau "awig-awig" untuk membuat perubahan yang lebih signifikan, agar lebih efektif dan efisien. Kami berkonsultasi dengan pemimpin masyarakat dan mendengar bahwa mereka memiliki rencana besar untuk mencoba merevitalisasi perekonomian desa mereka melalui program wisata budaya dan ekowisata yang baru saja diluncurkan sekitar satu setengah tahun yang lalu. Selain membantu merumuskan program pariwisata mereka—karena mereka meminta saran kami sebagai orang asing, kami juga sarankan terhadap persoalan pengelolaan sampah yang masyarakatnya telah mengurus selama sekitar 15 tahun yang lalu, dan ada orang-orang masyarakat tersebut yang telah dimulai sekitar 15 tahun yang lalu, dan ada orang-orang didalam masyarakat tersebut yang telah memprotesnya sejak itu. Kebetulan sekitar setahun lalu kami memulai proyek dengan masyarakat ini, tempat pembuangan sampah ilegal itu, telah tertutup setelah 15 tahun beroperasi, Bagi kami, itu adalah keberhasilan monumental bahwa desa dapat mencapai itu. Benar-benar sukses yang cukup besar. Namun, sistemnya kurang sempurna sekarang karena sampah masih harus ditangani. Tetapi keputusan untuk menghentikan 14 truk yang dulu masuk setiap hari, dan membawa sampah dari luar desa, adalah keputusan yang buat kami merasa benar-benar bangga dengan masyarakat yang mampu mencapai itu. Saya yakin itu bisa direplikasi di desa lain. Tentu saja visi dan keinginan bersama harus ada. Mungkin orang merasa sudah menyerah dan berpikir "Apa yang akan saya lakukan"? Tapi sebenarnya banyak bisa dilakukan, dan harus dimulai. Mungkin dari hal kecil, tetapi harus dimulai. / Jika Anda memiliki sebuah peternakan organik di rumah Anda, bahkan yang kecil,... itu akan mengurangi masalah sampah secara efektif. Misalnya, sampah yang dari dapur saya sendiri: adalah kurang lebih 70% organik. Saya mempunyai kotak kompos. Saya menempatkan sampah organik ini ke dalam kotak kompos, karena ini akan kembali ke alam, ke kebun sayuran saya. Kemudian sisanya, 30%, kebanyakan sampah yang non-organik ini bisa didaur ulang, juga mempunyai nilai ekonomis, karena di Bali ada "pemulung" yang bekerja sebagai pengumpul sampah. Kadang-kadang mereka membelinya dari setiap rumah tangga. Mereka akan berjalan kaki keliling sambil memanggil, "Barang bekas, barang bekas", berarti "sampah", kemudian mereka akan membelinya. Mereka mempunyai harga yang bagus untuk barang plastik, botol, seperti botol bir, kertas, aluminium, logam, baja, dan tembaga. Mereka memberikan harga yang benar-benar tinggi, dan sebagian besar dari 30% sampah non-organik ini, yang berasal dari dapur bisa didaur ulang, jadi bisa dijual, atau diberikan saja kepada pemulung. Jadi, kira-kira 25% dari sampah saya akan didaur ulang, untuk menjadi sesuatu yang bernilai, seperti barang baru, dan sisa 5% dari sampah ini adalah benar-benar limbah. Materi seperti plastik lembut, seperti kemasan biskuit atau kantong plastik. Jadi, menurut saya, hanya 5% dari semua sampah dapur akan berakhir di TPA karena kita sudah tidak bisa mengolahnya lagi. Saya pikir tempat pembuangan tidak akan penuh begitu cepat. Saya pikir cara yang paling praktis sekarang, karena Bali belum memiliki fasilitas pengelolaan limbah, setidaknya yang tepat, adalah untuk fokus pada pencegahan limbah: Setiap rumah tangga bisa melakukan itu. Misalnya bawa tas Anda sendiri ketika belanja, bawa keranjang Anda sendiri, bawa botol Anda sendiri, sehingga Anda tidak menambah jumlah limbah. Mungkin tindakan ini terlihat kecil. "Ini hanya satu kantong plastik"! Saya pernah bekerja dengan sekelompok siswa, dan kami minta mereka mengamati berapa banyak kantong plastik dibawa ke dalam rumah tangga mereka setiap hari. Dan satu siswa melaporkan, "5 kantong plastik". Ok, mari kita menghitung. Dalam sebulan akan berjumlah 150. Berapa banyak orang, berapa banyak keluarga, kurang lebih, yang ada di banjar Anda? Dia menjawab, "55". Berarti dalam setahun, akan ada lebih 10.000 kantong plastik. Itu banyak. Saya pernah mengalami ini, karena ketika kami bicarakan plastik misalnya, masalah besar di Bali, dulu saya mencoba untuk menjalani satu bulan tanpa plastik. Kami menyebutnya "plastic diet," hanya untuk mendapatkan data tentang bagaimana sulitnya hidup tanpa plastik, untuk meminimalkan sebisa mungkin pengunaan plastik. Tindakan ini bisa dilakukan. Ketika kita berbelanja, kita hanya perlu bawa tas kita sendiri, keranjang kita sendiri, jadi tidak begitu sulit. Kepada banyak pelanggan, kami menyediakan laporan daur ulang bulanan. Jadi mereka mendapatkan selembar kertas yang mencatat benda-benda yang dapat didaur ulang: seberapa banyak aluminium, botol plastik, plastik yang lain, kertas, dan sebagainya. Kemudian kami mencatat barang-barang buatan manusia yang tidak bisa didaur ulang. Misalnya styrofoam atau sampah berbahaya. Dan kami mencatat berapa banyak sampah organik atau limbah makanan, sehingga mereka mempunyai laporan dari yang sebenarnya mereka hasilkan sendiri. Dan pada awalnya, mungkin mereka berpikir, "Oh, laporan ini lucu, ini bagus", tapi setelah mereka melihat hasil sampah dalam 6 bulan atau setahun, mereka paham berapa banyak sampah yang mereka hasilkan. Dan dalam beberapa kasus, itu cukup mengejutkan. Jadi ini semacam panggilan untuk mereka sadar kalau mereka adalah pencemar, mereka harus berpikir tentang dampaknya. Saya rasa turis mempunyai tanggung jawab besar dari dampak yang mereka hasilkan di setiap negara yang mereka kunjungi. Mereka menyumbangkan sebagian besar dari jumlah sampah yang perlu ditangani. Tetapi mereka bisa membuat dampak yang positif. Mungkin di hotel yang mereka pilih untuk tinggal, mereka bisa memastikan dengan bertanya, "Ok, apakah kebijakan lingkungan hotel ini? Bagaimana limbah hotel dibuang? Saya ingin memastikan bahwa limbah yang saya hasilkan di hotel ini, atau yang hotel hasilkan akan berakhir di tempat yang tepat, dan tidak akan mencemari sungai dan berakhir di laut dan benar-benar mengurangi seluruh pengalaman wisata". Tujuan utama ke suatu tempat liburanan yang menyenangkan adalah untuk bersantai, mungkin untuk menikmati laut. Tetapi jika ada banyak sampah di dalamnya, maka jelas itu bukan yang Anda inginkan. Jadi, tanyakan kepada pihak hotel apa yang mereka lakukan dengan sampahnya. Sebelum datang ke sini, Anda bisa membuat janji untuk mendukung sebuah organisasi lokal yang bekerja untuk melindungi lingkungan, menjaga keindahan dan kesehatan wilayah yang Anda datang untuk menikmati Anda bisa menyumbang kepada organisasi nirlaba dan mendukung proyek-proyek mereka. Pada skala yang lebih besar, saya ingin melihat perusahaan dan tempat wisata untuk berkomitmen memberi, misalnya, 1% dari dana yang tamu habiskan di hotel atau untuk makanan atau tiket penerbangan sebagai donasi mendukung program lingkungan, atau program hijau. Ada wilayah yang telah melakukan ini secara efektif. Misalnya pulau Gili Trawangan, yang terletak dekat Lombok, memiliki Gili Ecotrust, sehingga sejumlah kecil, kira-kira 1 dolar per hari per wisatawan akan masuk ke dana itu dan digunakan untuk pengelolaan limbah atau untuk menangani masalah lingkungan lainnya. Semua orang ingin untuk menjadi "hijau". Tren itu dimulai oleh beberapa perintis yang bertindak "hijau", kemudian semua orang ingin bergabung. Tetapi biasanya, banyak orang hanya menyatakan bahwa mereka "hijau". Mungkin mereka berniat yang baik, mungkin tidak. Tetapi itu adalah slogan pemasaran saja. Mereka manyatakan "Kami hijau," atau "Kami mendaur ulang, kami melakukan itu", tetapi nantinya, pelanggan dan orang lain akan mengerti bahwa tidak cukup hanya mengatakannya. Mereka harus membuktikannya, menjelaskan apa yang mereka lakukan. Meskipun hanya bertanya kepada mereka, itu sudah bisa membantu. Langkah utama dalam perencanaan pengelolaan sampah apapun harus ada pencegahan dulu, kemudian pengurangan dan nantinya Anda mulai melihat...ok, apa yang bisa dilakukan dengan limbah yang sudah ada? Bisakah digunakan kembali? Jika tidak bisa, apakah bisa didaur ulang? Harus ada langkah seperti itu dalam piramida prioritas. Jadi kerjasama yang dilakukan sekarang adalah mendorong dunia usaha melakukan pencegahan limbah. Kami menyebutnya "Plastik Detox Bali". Masyarakat kami, saat ini, kecanduan plastik. Orang cenderung panik, seperti "Benar? Plastik dilarang"? Kami harus terus mengingatkan bahwa kami bukan anti-plastik; plastik memang dibutuhkan. Tapi kita harus belajar menggunakannya dengan bijak. Untuk membantu meringankan kecanduan mereka, kami sarankan mencoba Plastik Detox Bali. Ada serangkaian tindakan yang wirausaha dapat ambil: Pertama, kami meminta mereka untuk tidak memberikan kantong plastik secara gratis. Apa yang saya pikir harus dilakukan di Bali, mungkin di seluruh Indonesia, tapi pasti di Bali, adalah mulai mengimplementasikan pajak tas belanja. Orang mesti membayar kantong plastik. Membayar untuk hak istimewa itu. Membayar biaya eksternal yang meningkat, kemudian mudah-mudahan orang akan paham bahwa hak ini tidak gratis, seperti dikira sekarang dan mereka pikir itu modern. Mereka berpikir gratis adalah modernitas. Bagus, ya? Asik, dong! Tapi itu tidak benar. Bagaimana dengan biaya untuk penanganan jangka panjang? Biaya pengobatan untuk orang yang menhirup dioksin dari proses pembakaran plastik? Bagaimana dengan orang yang memakannya pada ikan laut? Berapa biaya kesehatan masyarakat yang diakibatkan? Semua perlu biaya. Miliaran, miliaran dan miliaran rupiah. Jadi, apakah perlu membuat sistem pengelolaan limbah dulu, atau mulai dengan pengurangan sampah? Mana yang lebih efisien secara biaya, lebih hemat? Untuk pemerintah yang bahkan tidak bisa menyediakan air kepada warga di Denpasar, ada banyak krisis lain yang sedang mendekati pulau ini. Plastik harus menjadi masalah termudah untuk ditangani. Laksanakan pajak tas plastik. Kemudian ketika orang sudah sadar, sudah didukung masyarakat: "Wah tas plastik mahal", kemudian terapkan peraturan larangan tas plastik. Melarang tas plastik. Melarang kantong plastik yang digunakan sekali. Irlandia? Pengurangan 92% dalam 2 minggu! Mereka hanya melarang kantong plastik langsung, dan itu memungkinkan di wilayah seperti Bali: Ini adalah pulau. Hanya perlu melarang tas plastik. Orang akan belajar untuk berurusan dengan itu. Anda belajar. Pertama atau kedua kali Anda ke toko tanpa membawa tas sendiri, dan dipaksa membelinya atau kembali ke rumah dan mengambil satu Anda tidak akan lupa lagi. Pergeseran perilaku instan, iya kan? Instan. Orang-orang akan mengeluh, tetapi menjadi dewasa, kok! Kita harus dewasa mengenai lingkungan hidup kita. Para siswa akan menjadi pemimpin masa depan dalam waktu dekat, dan mereka harus mampu mengakses berbagai informasi dalam pendidikannya, dan harus sadar. Seringkali, bukan hanya di Indonesia, dalam banyak negara, kurikulum sekolah sudah lama dan tidak relevan dengan banyak isu yang kini kita hadapi. Jika kurikulum tersebut dapat ditanamkan, kami merasa itu akan efektif, dan membuat anak-anak bersemangat. Kami memilih sekolah di beberapa wilayah, banyak terletak di daerah terpencil, dimana sekolah tidak memiliki layanan pengumpulan sampah, sehingga sekolah biasanya akan membakar limbah, atau membuangnya di sungai di belakang sekolah. Di sebuah sekolah tinggi, kami berdiskusi dengan baik masalahnya. Tanpa mengatakan apa-apa...karena sekolah telah menyediakan minuman, "Apa yang Anda dapat lakukan untuk mengurangi sampah dalam kehidupan sehari-hari"? Tanpa mengatakan apa-apa...karena sekolah telah menyediakan pengantar, siswa menjawab, "Ini bisa dihilangkan dan kami dapat mulai menggunakan pembungkus daun pisang lagi. Jangan menggunakan ini atau itu". Jadi, saya pikir sebenarnya SMA adalah sasaran yang cukup penting. Ada banyak program. Itu tidak perlu banyak dana, hanya membutuhkan sedikit. Dan jika Anda bisa membantu upaya penggalangan dana supaya program dapat dimulai atau dipertahankan, itu akan sangat membantu. Ketika Anda berpikir hal tersebut dalam tingkat global, apa yang dilakukan masyarakat di masa depan? Solusi, bagi saya, adalah kembali lagi untuk melibatkan pemerintah, karena sebagian besar masyarakat di sini setuju dengan ide pemisahan sampah atau daur ulang. "Mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang", atau "Bali Go Clean and Green". Semua orang setuju slogan-slogan itu. Tapi apa yang kita bicarakan saat ini, setelah slogan, gagasan, apa yang Anda tulis, setelah kata adalah Anda harus bertindak sekarang. Yang kita tunggu, sebagai gerakan akar rumput, yang tetap melakukan apa yang kita percaya adalah undang-undang pemerintah untuk mendukung aksi ini. Untuk memulai kebijakan itu dalam skala besar, maksud saya, pemerintah perlu campur tangan, dari atas sampai ke tingkat desa. Setiap tingkat. Dan dengan otonomi daerah di Indonesia, gubernur bisa mengatakan harus seperti ini kemudian para bupati perlu mengikutinya. Mereka harus peduli, benar-benar peduli. Saya pikir sekarang pemerintah tidak memiliki keprihatinan yang serius tentang masalah sampah tapi saya percaya, terutama daerah Bali, karena pemerintahan di Bali sangat unik, kami memiliki pemerintah formal dan tradisional, dan keduanya sama-sama kuat, Jika mereka memiliki keprihatinan yang serius tentang masalah sampah itu akan bisa disosialisasikan secara efektif bagi masyarakat. Kami akan mendukung 100%. Membuatnya jadi nyata. Tolak Tas Kresek Plastik, plastik, plastik Tolak tas kresek. Bali adalah pulau yang cantik, tas plastik membuat kulit bersisik, Mari mainkan musik dan dukung Bali yang cantik tanpa plastik.