Anda tahu, saya tersentak oleh bagaimana salah-satu dari tema-tema implisit TED adalah belas-kasih. Demonstrasi sangat menyentuh yang baru saja kita lihat ini: HIV di Afrika, Presiden Clinton tadi malam. Dan saya ingin melakukan sedikit berpikir tambahan, jika dikenankan, tentang belas-kasih dan membawanya dari strata global ke strata personal. Saya seorang psikolog, tapi yakinlah, Saya tidak akan membawa pembahasan sampai ke buah zakar. (Penonton tertawa) Ada satu studi yang sangat penting dilakukan beberapa waktu lalu di Seminari Teologis Princeton yang menyatakan tentang mengapa ketika kita semua memiliki sangat banyak kesempatan menolong, terkadang kita lakukan, dan terkadang tidak di lain waktu. Sekelompok siswa ilmu keagamaan di Seminari Teologis Princeton diberitahu bahwa mereka akan memberikan praktek khotbah dan mereka masing-masing diberikan sebuah topik khotbah. Setengah dari para siswa tersebut diberikan, sebagai topik, cerita moral "Orang Samaria Yang Baik" (Lukas 10:25-37) orang yang menghentikan orang asing -- menolong orang asing yang membutuhkan pertolongan di pinggir jalan. Setengahnya lagi diberikan topik acak dari Alkitab. Kemudian satu-satu, mereka diberitahu bahwa mereka harus pergi ke gedung lain dan memberikan khotbah mereka. Ketika mereka pergi dari bangunan pertama ke bangunan kedua, masing-masing melewati seorang pria yang membungkuk dan mengerang, jelas butuh pertolongan. Pertanyaannya: Berhentikah mereka untuk menolong? Pertanyaan yang lebih menarik adalah: Berartikah dengan mereka merenungkan cerita moral "Orang Samaria Yang Baik"? Jawaban: Tidak, sama-sekali tidak. Apa yang ternyata menentukan apakah seseorang akan berhenti dan menolong orang asing yang membutuhkan adalah seberapa tergesanya mereka pikir pada saat itu -- apakah mereka merasa sudah terlambat, atau apakah mereka asyik dalam memikirkan apa yang akan mereka bicarakan. Dan ini, saya rasa, adalah situasi sulit dari hidup kita: bahwa kita tidak mengambil setiap kesempatan untuk menolong, karena fokus kita berada di arah yang salah. Ada satu bidang baru dalam ilmu otak, "social neuroscience". Ilmu ini mempelajari sirkuit dalam otak dua orang yang menjadi aktif ketika mereka berinteraksi. Dan pemikiran baru tentang belas-kasih dari "social neuroscience" adalah bahwa pengkabelan dasar kita adalah untuk menolong. Dalam pengertian, jika kita mengurus orang lain, kita secara otomatis berempati, kita secara otomatis merasakan bersama mereka. Ada beberapa neuron yang baru diidentifikasi, "mirror neurons" (neuron cermin), yang bekerja seperti Wi-Fi neuro, aktif dalam otak kita tepat di area yang diaktifkan dalam otak mereka. Kita merasa 'bersama' secara otomatis. Dan jika orang itu membutuhkan pertolongan, jika orang itu berada dalam penderitaan, kita secara otomatis siap untuk menolong. Setidaknya itulah argumennya. Tapi kemudian pertanyaannya adalah: Kenapa kita tidak? Dan saya rasa ini menyatakan sebuah gambaran yang berangkat dari penyerapan diri total, hingga sampai ke memperhatikan, berempati, dan berbelas-kasih. Dan fakta sederhananya adalah, jika kita berfokus pada diri kita sendiri, jika kita sibuk, seperti seringkali terjadi sepanjang hari, kita tidak benar-benar sepenuhnya memperhatikan orang lain. Dan perbedaan antara fokus diri sendiri dan fokus orang lain ini bisa jadi sangat tipis. Saya sedang melakukan pajak saya hari yang lalu, dan saya sampai ke titik dimana saya sedang mendaftar semua donasi yang saya berikan dan saya mendapat sebuah pencerahan, itu tentang -- saya sampai ke cek saya untuk Yayasan Seva dan saya menyadari bahwa saya pikir, wah, teman saya Larry Brilliant akan sangat senang bahwa saya memberikan uang pada Seva. Kemudian saya menyadari bahwa apa yang saya peroleh dari memberi adalah sebuah pukulan narsisistik -- bahwa saya merasa baik atas diri saya. Kemudian saya mulai berpikir tentang orang-orang di Himalaya yang kataraknya akan dibantu, dan saya menyadari bahwa saya memulai dari semacam fokus diri yang narsisitik ini berubah menjadi suka-cita altruistis, merasa senang bagi orang-orang yang ditolong. Saya pikir itu adalah sebuah motivator. Tapi perbedaan antara berfokus pada diri kita sendiri dan berfokus pada orang lain ini adalah satu hal yang saya anjurkan untuk kita semua perhatikan. Anda dapat melihatnya pada strata umum dalam dunia kencan. Saya berada di sebuah restoran sushi beberapa waktu lalu dan saya mendengar dua wanita sedang bicara tentang saudara lelaki salah satu dari wanita, yang sedang melajang. Dan wanita ini berkata, "Saudara lelaki saya sedang kesulitan mendapatkan kencan, jadi dia mencoba kencan kilat." Saya tidak tahu apakah anda tahu kencan kilat? Wanita duduk di meja dan pria pergi dari satu meja ke meja lainnya, dan ada sebuah jam dan sebuah bel, dan saat tepat lima menit, bingo, percakapan berakhir dan sang wanita bisa memutuskan apakah dia akan memberikan kartu namanya atau alamat emailnya kepada sang lelaki untuk ditindak-lanjuti. Dan wanita ini berkata, "Saudara lelakiku tidak pernah dapat sebuah kartupun. Dan aku tahu persis kenapa. Pada saat dia duduk, dia mulai bicara tanpa henti tentang dirinya, dia tidak pernah bertanya tentang si wanita." Dan saya sedang melakukan beberapa riset di seksi Sunday Styles di koran New York Times, melihat cerita-cerita di balik perkawinan -- karena mereka sangat menarik -- dan saya tiba pada pernikahan Alice Charney Epstein. Dan dia berkata bahwa saat dia sedang berpacaran, dia memiliki sebuah tes sederhana untuk orang-orang. Tes tersebut adalah: dari saat pertama mereka bersama-sama, berapa lama yang diperlukan lelaki tersebut untuk menanyainya sebuah pertanyaan dengan kata 'kamu' di dalamnya. Dan rupanya Epstein lulus tes, maka dari itu, artikel tersebut ada. (Penonton tertawa) Sekarang ini adalah -- ini sebuah tes kecil Saya mendorong anda untuk mencobanya di sebuah pesta. Di sini di TED ada kesempatan luar biasa. The Harvard Business Review baru-baru ini memiliki sebuah artikel yang berjudul "Momen Manusia", tentang bagaimana membuat kontak sebenarnya dengan seseorang di tempat kerja. Dan mereka berkata, begini, hal mendasar yang harus anda lakukan adalah mematikan BlackBerry anda, menutup laptop anda, mengakhiri lamunan anda dan memberikan perhatian penuh pada orang tersebut. Ada satu kata dalam bahasa Inggris yang baru-baru ini diciptakan. pada saat ketika orang yang bersama kita mengeluarkan Blackberry mereka atau menjawab handphone itu, dan tiba-tiba kita tidak ada. Kata barunya adalah "pizzled" (bisal): kombinasi dari 'puzzled' (bingung) dan 'pissed off' (kesal). (Penonton tertawa) Saya pikir kata tersebut cukup tepat. Empati kitalah, kemampuan menyelaraskan kitalah yang memisahkan kita dari kaum Machiavelli atau kaum sosiopat. Saya memiliki seorang ipar yang ahli dalam horor dan teror -- dia menulis "Ikhtisar Drakula", "Intisari Frankenstein" -- Dia terlatih sebagai sarjana sastra Inggris, tapi dia lahir di Transylvania (yang dipercaya sebagai tanah Drakula) dan menurut saya hal ini sedikit mempengaruhinya. Bagaimanapun, pada satu titik ipar saya, Leonard, memutuskan untuk menulis sebuah buku tentang seorang pembunuh berantai. Ini adalah seorang pria yang meneror daerah sekitar tempat kami tinggal bertahun-tahun yang lalu. Dia dikenal sebagai pencekik Santa Cruz. Dan sebelum dia ditangkap, dia telah membunuh kakek-neneknya, ibunya dan lima mahasiswa di UC Santa Cruz. Jadi ipar saya pergi untuk mewawancarai pembunuh ini dan dia menyadari ketika dia menemui si pembunuh berantai bahwa orang ini benar-benar mengerikan. Untuk satu hal, dia hampir 7 kaki tingginya (hampir 2.1 meter) Tapi hal itu bukan yang paling mengerikan tentangnya. Yang paling menakutkan adalah bahwa IQnya 160: sah seorang jenius. Tapi sama-sekali tidak ada korelasi antara IQ dan empati emosional, perasaan dengan orang yang lain. Mereka dikontrol oleh bagian-bagian berbeda dari otak. Jadi pada satu titik, ipar saya mengumpulkan keberanian untuk menanyakan satu pertanyaan yang sangat ingin dia ketahui jawabannya. Dan itu adalah: Bagaimana anda dapat melakukannya? Tidakkah anda sedikitpun merasa kasihan pada korban-korban anda? Ini adalah pembunuhan-pembunuhan yang sangat intim -- dia mencekik korban-korbannya. Dan si pencekik bahkan mengatakan, "Oh tidak. Jika saya merasakan penderitaannya, saya tidak akan bisa melakukannya. Saya harus mematikan bagian itu dari diri saya. Saya harus mematikan bagian itu dari diri saya." Dan saya rasa bahwa hal itu sangat mengganggu. Dan dalam pengertian, saya telah mengekspresikan tindakan mematikan bagian diri kita itu. Ketika kita fokus pada diri kita sendiri dalam aktifitas apapun, kita memang mematikan bagian diri kita itu jika ada orang lain. Pikir tentang pergi berbelanja dan pikir tentang kemungkinan-kemungkinan dari sebuah konsumerisme belas-kasih. Saat ini, seperti yang Bill McDonough telah tunjukkan, objek-objek yang kita beli dan gunakan mempunyai konsekuensi tersembunyi. Kita semua adalah korban-korban tanpa disengaja dari sebuah titik buta kolektif. Kita tidak menyadari dan tidak menyadari bahwa kita tidak menyadari molekul-molekul racun yang dikeluarkan oleh karpet atau oleh bahan kain di kursi. Atau kita tidak tahu apakah bahan kain tersebut adalah nutrien teknologi atau nutrien manufaktur; dia dapat digunakan kembali atau dia hanya akan berakhir di TPA sampah? Dengan kata lain, kita buta akan kesehatan ekologi dan kesehatan publik dan keadilan sosial dan ekonomi konsekuensi atas barang-barang yang kita beli dan gunakan. dalam pengertian, sebuah masalah nyata yang terabaikan, tapi kita tidak melihatnya. Dan kita telah menjadi korban dari sebuah sistem yang mengarahkan kita ke arah lain. Pertimbangkan ini. Ada sebuah buku bagus yang berjudul Barang: Kehidupan Tersembunyi Objek-objek Sehari-hari. Dan buku ini membicarakan tentang cerita di balik suatu barang, seperti sebuah t-shirt Dan buku ini membicarakan tentang tempat dimana kapas (bahan t-shirt) tersebut tumbuh. dan pupuk-pupuk yang digunakan dan konsekuensi-konsekuensi pupuk tersebut terhadap tanah. Dan buku ini menyinggung, misalnya, bahwa kapas sangat tahan terhadap pewarna tekstil; sekitar 60% pewarna kapas tercuci-lepas menjadi air limbah. Dan hal ini terkenal di kalangan epidemiolog bahwa anak-anak yang tinggal di dekat pabrik-pabrik tekstil cenderung untuk memiliki angka leukimia yang tinggi. Ada sebuah perusahaan, Bennet and Company, yang memasok Polo.com, Victoria's Secret -- mereka, karena CEOnya, yang sadar akan hal ini, di Cina membentuk sebuah badan usaha bersama dengan pabrik-pabrik pewarna mereka untuk menjamin bahwa air limbah mereka akan diurus secara benar sebelum air tersebut dikembalikan ke air tanah. Saat ini, kita tidak punya pilihan untuk memilih t-shirt yang "baik" diatas t-shirt yang "tidak baik". Jadi apa yang diperlukan untuk memungkinkan hal itu? Begini, saya telah berpikir. Untuk satu hal, ada sebuah teknologi baru pelabelan elektronik yang memungkinkan toko manapun untuk mengetahui seluruh sejarah dari barang apapun yang berada di rak-rak toko tersebut. Anda dapat melacaknya sampai ke pabrik pembuat. Sekali anda dapat melacaknya kembali ke pabrik pembuat, anda dapat melihat proses-proses pembuatan yang digunakan untuk membuat barang tersebut, dan jika barang tersebut "baik" anda dapat menandai barang tersebut "baik" atau jika barang tersebut "tidak baik", anda dapat masuk kedalam -- sekarang ini, kedalam toko manapun, arahkan scanner di tangan anda ke sebuah barcode yang mana akan membawa anda ke sebuah website. Mereka menyediakan ini untuk orang-orang yang alergi terhadap kacang. Website itu bisa memberitahu anda hal-hal tentang objek tersebut. Dengan kata lain, pada saat pembelian, kita mungkin dapat membuat sebuah pilihan yang berbelas-kasih. Ada satu pepatah dalam dunia ilmu informasi: pada akhirnya semua orang akan tahu segalanya. Dan pertanyaannya adalah: Akankah itu membuat perubahan? Beberapa waktu yang lalu ketika saya masih bekerja untuk New York Times, waktu itu tahun '80an, saya menggarap sebuah artikel tentang apa yang pada saat itu merupakan masalah baru di New York -- tentang tunawisma di jalanan. Dan saya habiskan beberapa minggu berkeliling dengan sebuah agensi darma sosial yang melayani para tunawisma. Dan saya menyadari ketika melihat para tunawisma melalui mata mereka bahwa hampir semua dari mereka adalah pasien kejiwaan yang tidak punya tempat singgah. Mereka mempunyai sebuah diagnosa. Membuat saya -- diagnosa itu membuat saya tergoncang keluar dari hipnotis perkotaan dimana, ketika kita melihat, ketika kita melewati seseorang yang adalah seorang tunawisma di batas luar pandangan kita, objek itu tetap berada di batas luar pandangan kita. Kita tidak memperhatikan dan karenanya kita tidak bertindak. satu hari segera setelah itu -- waktu itu hari Jum'at -- di akhir hari, Saya ke bawah --ke stasiun bawah tanah. Waktu itu sedang jam sibuk dan ribuan orang mengalir menuruni tangga. Dan tiba-tiba saat saya sedang menuruni tangga saya memperhatikan ada seorang lelaki tersungkur ke samping, tanpa baju, tidak bergerak, dan orang-orang cuma melangkahinya -- ratusan dan ratusan orang. Dan karena hipnotis perkotaan saya telah, entah bagaimana, melemah, Saya menemukan diri saya berhenti untuk mencari tahu apa yang salah. Di saat saya berhenti, setengah lusin orang lain seketika mengelilingi pria tersebut. dan kami menemukan bahwa dia adalah orang Hispanik, dia tidak bicara bahasa Inggris, dia tidak punya uang, dia telah menyusur jalanan selama berhari-hari, kelaparan, dan dia pingsan karena rasa lapar. Serta-merta seseorang pergi mengambilkan jus jeruk, seseorang membawakan sebuah hotdog, seseorang membawa seorang polisi subway. Orang ini segera dapat berdiri sendiri lagi. Tapi yang diperlukan hanya perilaku memperhatikan yang sederhana itu. Dan karenanya saya optimis. Terima-kasih banyak. (Suara tepuk tangan)