Suatu hari, sekitar 10 tahun yang lalu, saya meminta teman untuk memegang robot bayi dinosaurus secara terbalik. Robot ini namanya Pleo. Saya yang memesannya. Saya begitu senang karena saya suka robot. Dan robot ini punya fitur teknis keren. Robot ini punya sensor gerak dan sentuh juga kamera infra merah. Dan salah satu fitur adalah sensor miring, jadi dia tahu ke mana dia menghadap. Dan kalau dipegang terbalik, dia akan menangis. Saya rasa itu sangat keren, jadi saya tunjukkan ke teman saya, saya bilang, "pegang ekornya. Lihat apa yang dia lakukan." Lalu kita memerhatikan aksi dramatis robot ini meronta dan menangis. Setelah beberapa detik, saya mulai terganggu, lalu saya bilang, "Oke, sudah cukup. Mari letakkan dia kembali." Lalu saya membelai robotnya agar berhenti menangis. Itu pengalaman aneh bagi saya. Karena satu hal, saat itu saya bukan orang yang keibuan. Walau kemudian saya jadi ibu, 9 bulan lalu, saya akhirnya tahu bayi pun meronta kalau dipegang terbalik. (Suara tawa) Tapi respons saya ke robot ini juga menarik sebab saya tahu pasti cara kerja mesin ini, tapi saya merasa harus tetap bersikap baik padanya. Pengamatan itu mencetuskan rasa penasaran. Saya menghabiskan 10 tahun terakhir mencari jawabannya. Kenapa saya menenangkan robot ini? Salah satu hal yang saya dapati adalah perlakuan saya pada mesin ini lebih dari sekadar momen aneh di ruang tamu saya, di dunia di mana kita semakin mengintegrasikan robot dalam kehidupan, naluri semacam itu mungkin saja punya konsekuensi, sebab hal pertama yang saya dapati adalah bukan hanya saya Di tahun 2007, Washington Post melaporkan bahwa militer Amerika Serikat menguji robot penjinak ranjau darat. Robot ini bekerja dengan cara membentuk serangga tongkat dan akan berjalan kaki mengelilingi ladang ranjau, dan setiap menginjak ranjau, kakinya akan meledak, dia menggunakan kaki lain untuk meledakkan lebih banyak ranjau. Kolonel yang bertanggung jawab pada latihan percobaan ini akhirnya menghentikannya, sebab sangat tidak manusiawi melihat robot rusak ini menyeret dirinya di sepanjang ladang ranjau. Sekarang, apa yang menyebabkan seorang perwira militer tangguh dan orang seperti saya punya rasa seperti itu pada robot? Tentu saja, kita dibekali fiksi ilmiah dan budaya pop untuk mempersonifikasi hal seperti itu, tapi ini sedikit lebih dalam. Ternyata secara biologis kita terdorong untuk menyoroti hasrat dan kehidupan ke tiap gerakan di ruang fisik yang tampak otonom bagi kita. Jadi orang akan memperlakukan segala macam robot seakan mereka hidup. Unit-unit pembasmi bom ini punya nama dan mendapatkan medali kehormatan, juga dimakamkan dengan hormat senjata. Penelitian menunjukkan, bahkan robot sederhana di rumah pun bisa, contohnya: penyedot debu Roomba. (Suara tawa) Itu cuma cakram yang menelusuri lantai untuk bersih-bersih, tapi karena dia bergerak sendiri, orang memanggilnya Roomba dan kasihan ketika Roomba tersangkut di bawah sofa. (Suara tawa) Kita bisa mendesain robot khusus untuk membangkitkan respons ini, menggunakan mata dan wajah, ataupun gerakan yang secara otomatis, orang akan menyatukannya dengan kondisi pikirannya. Sebuah badan penelitian terpadu bernama interaksi manusia-robot menunjukkan hebatnya cara kerja ini. Contohnya, peneliti di Standford University menemukan, orang-orang merasa sangat tidak nyaman saat diminta untuk menyentuh bagian pribadi robot (Suara tawa) Dari sini dan penelitian lainnya, kita tahu bahwa orang merespons isyarat yang diberikan oleh mesin yang tampak hidup ini, meski mereka tahu mesinnya tidak hidup. Sekarang kita menuju dunia di mana robot ada di mana-mana. Teknologi robotik keluar dari balik dinding pabrik, memasuki tempat kerja dan rumah. Mesin-mesin ini mampu merasakan, membuat keputusan sendiri, dan belajar, masuk ke ruang bersama ini, Saya pikir kita bisa menganalogikan itu seperti hubungan kita dengan hewan. Ribuan tahun lalu, kita mulai menjinakkan hewan, melatihnya untuk jadi pekerja, senjata, dan persahabatan. Sepanjang sejarah, kita memperlakukan sebagian hewan seperti alat atau produk, kita sayangi sebagian hewan lainnya. Kita menganggapnya teman dalam bermasyarakat. Saya pikir masuk akal bila kita mulai memperlakukan robot dengan cara yang sama. Tentu saja, hewan adalah makhluk hidup. Tapi robot tidak. Dari pengalaman kerja dengan ahli robot, saya beri tahu kita masih sangat jauh dari pengembangan robot yang bisa merasa. Tapi kita ada rasa pada robot, dan itulah yang penting, sebab kita berusaha mengintegrasikan robot ke ruang bersama ini, kita harus paham bahwa mereka akan diperlakukan berbeda dari alat lainnya, dan dalam beberapa kasus, contohnya, kasus tentara yang jadi terikat secara emosional dengan robot yang bekerja sama dengan dia, dan itu tidak efisien, bahkan berbahaya. Tapi pada kasus lain, sangat berguna jika kita memelihara keterkaitan emosi dengan robot. Kita sudah tahu beberapa contoh manfaatnya, misalnya, robot bekerja dengan anak autis untuk mengajak mereka dengan cara yang belum pernah kita tahu sebelumnya, atau robot bersama guru melibatkan anak dalam belajar dengan hasil baru Robot tidak hanya untuk anak. Studi awal menunjukkan bahwa robot bisa membantu dokter dan pasien dalam mengatur kesehatan. Inilah PARO, robot bayi anjing laut. Dia digunakan di panti jompo dan untuk pasien demensia. Dia sudah lama digunakan. Saya ingat, beberapa tahun lalu, saat di sebuah pesta, saya memberi tahu seseorang tentang robot ini, dan respons dia, "Ya ampun. Mengerikan. Sulit dipercaya, kita memberi mereka robot bukan perawatan manusia." Dan ini respons yang amat umum, dan saya pikir itu sangat tepat, karena itu bisa jadi mengerikan. Tapi kasus ini bukan soal apa yang robot gantikan. Yang digantikan oleh robot ini adalah terapi hewan yang mana kita tidak bisa menggunakan hewan sungguhan, tapi bisa dengan robot, sebab orang akan terus memperlakukan mereka seperti hewan bukannya alat. Mengakui keterikatan emosional pada robot ini membantu kita mengantisipasi tantangan saat semua alat ini masuk lebih dalam ke area intim kehidupan manusia. Contohnya, apakah boleh jika robot beruang teddy anak Anda merekam percakapan pribadi? Apakah boleh jika robot seks Anda menarik pembelian dalam aplikasi? (Suara tawa) Sebab robot plus kapitalisme sama dengan pertanyaan soal perlindungan konsumen dan privasi. Dan itu bukan satu-satunya alasan bahwa tingkah laku kita pada mesin ini memiliki arti. Beberapa tahun setelah pengalaman pertama saya dengan robot bayi dinosaurus ini, saya dan rekan, Hannes Gassert menggelar lokakarya. Kami mengambil lima robot bayi dinosaurus dan memberikannya ke lima tim. Dan kami menamai robot-robot itu lalu bermain dan berinteraksi dengan mereka selama sekitar satu jam. Lalu kami mengeluarkan palu dan kapak, meminta mereka menyiksa dan membunuh robot itu. (Suara tawa) Hal ini ternyata jadi agak lebih dramatis dari yang kami kira, karena tidak satu pun peserta yang mau memukul robot bayi dinosaurus ini, jadi kami harus sedikit mengubahnya, dan kami berkata, "Baik, robot tim Anda bisa selamat asal Anda hancurkan robot tim lain" (Suara tawa) Tidak berhasil juga. Mereka tidak sanggup. Akhirnya kami bilang, "Kami akan hancurkan semua robot kecuali ada orang memukul salah satunya." Dan pria ini berdiri lalu mengambil kapak, dan seluruh ruangan meringis saat dia mengayunkan kapak ke leher robot itu, lalu setengah bercanda, setengah serius mereka mengheningkan cipta untuk robot yang gugur ini. (Suara tawa) Itu sungguh pengalaman yang menarik. Itu jelas bukan penelitian terkontrol, namun mengarah ke penelitian yang nanti saya lakukan di MIT bersama Palash Nandy dan Cynthia Breazeal, di mana kami meminta orang-orang ke laboratorium dan menghantam HEXBUG yang bergerak sungguh nyata, seperti serangga. Jadi dari pada memilih sesuatu yang imut sehingga orang tertarik, kami memilih sesuatu yang lebih dasar, dan yang kami temukan bahwa orang yang tinggi rasa empatinya akan lebih ragu untuk memukul HEXBUG. Nah, ini cuma penelitian kecil, tapi bagian dari penelitian yang lebih besar yang mulai mengindikasikan bahwa mungkin ada hubungan antara tendensi rasa empati seseorang dan perilaku mereka terhadap robot. Tapi pertanyaan saya untuk era interaksi robot-manusia nanti bukan: "Apakah kita berempati pada robot?" Tapi: "Dapatkah robot mengubah rasa empati manusia?" Misal, Apakah ada alasan untuk melarang anak Anda menendang robot anjing, bukan karena menghargai barang, tapi karena si anak seperti menendang anjing sungguhan? Dan lagi, bukan hanya anak-anak. Ini soal video game kekerasan, tapi di tingkat yang berbeda sebab karena nafsu mendalam ini kita lebih merespons pada gambar di layar. Saat kita berperilaku kasar pada robot, khususnya robot yang didesain meniru kehidupan, apakah itu pelampiasan perilaku kasar yang sehat atau malah melatih otot-otot kejam kita? Kita tidak tahu... Tapi jawaban pertanyaan ini punya potensi yang berdampak pada perilaku manusia, punya potensi yang berdampak pada norma sosial, punya potensi mengilhami peraturan tentang apa yang bisa dan tak bisa kita lakukan pada robot tertentu, seperti undang-undang tentang hewan. Sebab meski robot tidak bisa merasa, perilaku kita pada mereka itu yang penting bagi kita. terlepas dari kita mengubah peraturannya atau tidak, robot mungkin bisa membantu kita mendapatkan pemahaman baru atas diri kita. Yang saya pelajari lebih dari 10 tahun sebagian besar bukan soal teknologi. Namun soal psikologi manusia empati, dan bagaimana berhubungan dengan orang lain. Sebab saat seorang anak bersikap baik pada Roomba, saat seorang tentara berusaha menyelamatkan robot di medan perang, atau saat sekelompok orang menolak melukai robot bayi dinosaurus, robot-robot itu bukan sekadar motor, mesin, dan algoritma. Merekalah cerminan dari kemanusiaan kita. Terima kasih. (Suara tepuk tangan)