Return to Video

Menjadi Putri Kerajaan Jawa Modern| Gusti Kanjeng Ratu Hayu | TEDxMlatiWomen

  • 0:27 - 0:29
    Selamat malam semuanya.
  • 0:31 - 0:34
    Mungkin bisa kita langsung mulai saja.
  • 0:43 - 0:45
    Tenang, Mas.
  • 0:45 - 0:46
    (Tawa)
  • 0:49 - 0:51
    Saya jadi makin deg-degan soalnya.
  • 0:51 - 0:52
    (Tawa)
  • 0:57 - 1:01
    Tahun 2009 sampai tahun 2012,
  • 1:01 - 1:05
    saya kerja di Jakarta
    di sebuah perusahaan IT.
  • 1:05 - 1:07
    Selama 3 tahun itu,
  • 1:08 - 1:12
    ada 2 komentar dari tim saya
    yang tidak bisa saya lupakan.
  • 1:13 - 1:15
    Yang pertama adalah
  • 1:15 - 1:18
    "Yakin elu anak sultan?
    Pasti yang salah didik ya?"
  • 1:18 - 1:20
    Yang kedua,
  • 1:20 - 1:25
    "Kamu sukses menghancurkan semua
    bayangan saya tentang putri keraton."
  • 1:25 - 1:26
    (Tawa)
  • 1:27 - 1:31
    Memang, bayangan orang
    tentang perempuan Jawa,
  • 1:32 - 1:36
    apalagi putri keraton,
    itu kadang luar biasa sekali,
  • 1:36 - 1:39
    yang sangat unrealistic.
  • 1:40 - 1:45
    Memang tidak bisa dipungkiri
    dalam budaya Indonesia, ya,
  • 1:46 - 1:51
    ada yang bilang wanita itu
    kependekan dari wani ditoto,
  • 1:51 - 1:54
    ada juga yang bilang
    urusannya perempuan itu
  • 1:54 - 1:59
    adalah kanca wingking,
    urusannya hanya dapur, sumur, dan kasur.
  • 2:00 - 2:02
    Ada masanya di keraton sendiri,
  • 2:02 - 2:05
    dan belum terlalu jauh
    generasinya dari saya,
  • 2:05 - 2:10
    di mana putri raja itu
    dianggap sebagai alat politik
  • 2:10 - 2:15
    yang bisa jadi upeti,
    bisa dinikahkan ke sana ke sini,
  • 2:15 - 2:19
    hanya untuk menghimpun kekuatan.
  • 2:21 - 2:22
    Bahkan ada juga masanya
  • 2:22 - 2:27
    di mana istri itu bisa dilungsurkih,
    bahasa jawanya,
  • 2:27 - 2:29
    atau diberikan ke bawahannya.
  • 2:29 - 2:33
    Itu ada, dan itu masih
    belum generasi yang terlalu jauh.
  • 2:33 - 2:38
    Masih ada nenek
    yang statusnya seperti itu.
  • 2:39 - 2:43
    Perubahan di keraton,
    mungkin tidak terlalu jauh itu
  • 2:43 - 2:46
    eranya Hamengkubuwono VIII.
  • 2:46 - 2:50
    Beliau istrinya ada 8,
    anak laki-lakinya ada 24,
  • 2:51 - 2:53
    anak perempuannya ada 17.
  • 2:54 - 2:58
    Posisi di keraton itu
    biasanya ada satu permaisuri
  • 2:58 - 3:01
    dan sisanya,
    di bawahnya itu ada macam-macam.
  • 3:01 - 3:06
    Satu level di bawahnya adalah garwa padmi,
    yang bisa disebut selir.
  • 3:06 - 3:08
    Tapi, semuanya istri sah ya.
  • 3:10 - 3:16
    Meski para putri rajanya itu
    tidak bisa keluar Keraton dengan leluasa,
  • 3:16 - 3:20
    namun eyang ke-8
    sudah mulai mendatangkan guru
  • 3:21 - 3:23
    untuk mendidik putri-putrinya.
  • 3:23 - 3:29
    Di zamannya Hamengkubuwono IX,
    beliau istrinya 5.
  • 3:29 - 3:31
    Jadi, satu waktu itu empat,
  • 3:31 - 3:34
    ketika satu meninggal,
    beliau menikah lagi.
  • 3:36 - 3:38
    Pada zaman itu,
    beliau tidak mengangkat permaisuri.
  • 3:39 - 3:41
    Semua istrinya bergelar garwa padmi.
  • 3:42 - 3:49
    Itu adalah sebuah wujud keadilan untuk
    istrinya dalam kondisi keluarga poligami.
  • 3:50 - 3:53
    Anak-anaknya sudah tidak dijodohkan lagi.
  • 3:53 - 3:56
    Semua lulusan universitas,
  • 3:56 - 3:59
    dan diperbolehkan memilih
    pasangan hidupnya masing-masing.
  • 4:00 - 4:02
    Next.
  • 4:10 - 4:16
    Di zaman ayah saya,
    ini istrinya hanya satu.
  • 4:16 - 4:17
    Beliau ...
  • 4:25 - 4:29
    Beliau memilih
    untuk hanya beristrikan satu,
  • 4:29 - 4:32
    di mana gelarnya permaisuri.
  • 4:32 - 4:34
    Anak-anaknya perempuan semua.
  • 4:34 - 4:44
    Jadi, meskipun banyak yang menawarkan
    solusi penerus takhta untuk ayah saya,
  • 4:44 - 4:47
    yaitu menikah lagi sampai punya anak laki.
  • 4:48 - 4:53
    Beliau cuma mengatakan
    bahwa saya memilih hanya beristrikan satu
  • 4:53 - 4:58
    karena saya mengalami
    keadaan keluarga banyak ibu.
  • 4:59 - 5:03
    Saya tidak menginginkan anak-anak saya
    mengalami hal yang sama.
  • 5:04 - 5:05
    Itu yang beliau katakan.
  • 5:06 - 5:11
    Permaisuri di zaman Hamengkubuwono X pun
    tidak hanya di dalam istana.
  • 5:11 - 5:17
    Gusti Kanjeng Ratu Hemas itu
    aktivitas sosialnya banyak,
  • 5:17 - 5:20
    dan sudah menjabat
    sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah
  • 5:20 - 5:24
    selama empat periode di Jakarta.
  • 5:26 - 5:30
    Akhirnya, mereka berdua pun bisa berdiri
    di panggung yang sama,
  • 5:30 - 5:33
    ini dalam penganugerahan
    Bintang Mahaputra Utama.
  • 5:34 - 5:37
    Anak-anak dari HB X,
  • 5:37 - 5:42
    semuanya diharuskan menyelesaikan S1
    di luar negeri sendiri,
  • 5:42 - 5:43
    tidak boleh bawa siapa-siapa,
  • 5:43 - 5:49
    supaya kami bisa mengenal orang
    dari berbagai macam budaya
  • 5:49 - 5:51
    dan bisa hidup secara mandiri.
  • 5:52 - 5:53
    Next.
  • 5:55 - 6:00
    Konsekuensi dari itu,
    saya baru merasakan ketika sudah bekerja.
  • 6:01 - 6:08
    Hanya sesuatu yang se-simple seorang raja
    memilih hanya punya satu istri,
  • 6:09 - 6:10
    itu impact-nya banyak sekali,
  • 6:10 - 6:14
    baik di keluarga
    maupun di keraton secara institusi.
  • 6:14 - 6:20
    Tadi seperti eyang ke-8
    itu putranya ada banyak, ada puluhan.
  • 6:20 - 6:25
    Eyang ke-9 pun
    total putra-putrinya itu berjumlah 22.
  • 6:25 - 6:26
    Kami hanya berlima.
  • 6:29 - 6:33
    Keputusan ini akhirnya, di satu sisi,
  • 6:33 - 6:38
    kami berlima ini,
    generasi pertama anak-anak sultan
  • 6:38 - 6:42
    yang tinggal di bawah satu atap
    dengan bapak dan ibunya komplit.
  • 6:42 - 6:46
    Di mana sultan-sultan terdahulu
    punya kediaman sendiri,
  • 6:46 - 6:49
    masing-masing istri punya rumah sendiri
    di dalam kompleks keraton
  • 6:49 - 6:51
    beserta anak-anaknya.
  • 6:51 - 6:53
    Jadi, kami ini generasi pertama.
  • 6:55 - 6:56
    Lalu,
  • 6:58 - 7:05
    ibu yang selalu kerja di luar kota
    mengharuskan kami ini bisa membantu bapak
  • 7:05 - 7:08
    dalam menyelesaikan
    semua permasalahan keraton.
  • 7:09 - 7:12
    Jadi, kami juga dilatih,
    diharuskan untuk mandiri.
  • 7:13 - 7:16
    Mungkin sebagai gambaran,
  • 7:17 - 7:22
    ketika saya mau kelas 3 SMA,
    mau milih tujuan negara untuk kuliah,
  • 7:22 - 7:26
    teman-teman saya itu
    banyak yang mau ke Eropa.
  • 7:26 - 7:27
    Tapi, kata orang tuanya,
  • 7:27 - 7:30
    "Yang dekat aja lah,
    mungkin ke Australia,
  • 7:30 - 7:32
    supaya kamu tuh sering-sering pulang."
  • 7:33 - 7:35
    Waktu itu, saya ingin sekolah di Jepang.
  • 7:35 - 7:38
    Ketika saya matur, "Bapak ibu,
    boleh nggak saya sekolah di Jepang?"
  • 7:39 - 7:40
    Jawabannya cepat sekali.
  • 7:40 - 7:44
    "Itu kurang jauh, yang jauh sana sekalian
    biar kamu gak pulang-pulang terus."
  • 7:45 - 7:47
    (Tawa)
  • 7:48 - 7:51
    Dan akhirnya,
    saya terdampar sendirian di Amerika
  • 7:51 - 7:53
    di mana itu pesawat saja 24 jam.
  • 7:54 - 7:57
    Benar-benar di belahan dunia yang lain.
  • 7:59 - 8:00
    Next.
  • 8:03 - 8:07
    Decision bapak ibu ini juga
    memberikan saya mindset
  • 8:07 - 8:11
    yang mungkin sedikit berbeda
    dengan banyak perempuan sebaya.
  • 8:11 - 8:17
    Jadi, saya ini kebetulan
    penerima beasiswa LPDP yang pertama.
  • 8:17 - 8:19
    Jadi, angkatan 001.
  • 8:19 - 8:24
    Tahun 2016, saya mengikuti workshop,
    namanya PEP LPDP.
  • 8:24 - 8:30
    Jadi, workshop ini
    khusus untuk penerima awardee LPDP
  • 8:30 - 8:32
    yang sudah lulus dari sekolah tujuan.
  • 8:32 - 8:35
    Jadi, bukan seleksi
    masuk ke LPDP-nya sendiri.
  • 8:35 - 8:41
    Para perempuan ini sudah lulusan S2, S3
    di berbagai macam jurusan,
  • 8:41 - 8:43
    yang dengar judul tesisnya saja,
  • 8:43 - 8:46
    saya tidak mengerti
    itu gimana bisa terjadi.
  • 8:47 - 8:48
    They are very smart.
  • 8:48 - 8:51
    Umurnya mungkin sekitar 26-27.
  • 8:51 - 8:53
    Ketika mereka pulang,
    kebimbangan mereka adalah
  • 8:54 - 8:59
    disuruh cepat-cepat nikah,
    work-life balance,
  • 8:59 - 9:03
    dan gimana balance
    antara karier sendiri dan karier suami.
  • 9:05 - 9:11
    Cara mereka membuat statement itu
    membuat saya sangat merasa risih.
  • 9:12 - 9:13
    Dia bilangnya begini,
  • 9:13 - 9:16
    "Karena saya ingin jadi ibu
    atau istri yang baik,"
  • 9:16 - 9:17
    dilanjutkan dengan,
  • 9:17 - 9:22
    "maka, ketika suami pulang,
    anak pulang, dia harus sudah di rumah."
  • 9:23 - 9:24
    Saya tidak terima.
  • 9:25 - 9:28
    Karena ibu itu hanya pulang kalau weekend.
  • 9:28 - 9:32
    Itu pun
    kalau tidak lagi dinas ke luar kota.
  • 9:33 - 9:36
    Bagaimana dengan para perawat
    di rumah sakit yang jaga malam?
  • 9:36 - 9:37
    Staf hotel yang jaga malam?
  • 9:37 - 9:40
    Apakah mereka
    bukan ibu atau istri yang baik?
  • 9:43 - 9:46
    Jadi, waktu itu saya langsung gerilya
    dari meja ke meja.
  • 9:46 - 9:49
    Tolong ubah mindset-nya,
    jangan seperti itu.
  • 9:49 - 9:55
    Kita ini punya kepentingan
    aktualisasi diri masing-masing.
  • 9:57 - 10:02
    Perubahan itu juga bukan hanya susah
    di lingkungan keluarga,
  • 10:02 - 10:04
    tapi juga di lingkungan keraton.
  • 10:04 - 10:08
    Jadi, kalau zaman dulu, putri raja itu
    sudah menikah ikut suaminya,
  • 10:08 - 10:13
    mungkin di tempat suaminya,
    mereka statusnya di bawah suaminya.
  • 10:13 - 10:14
    Tapi tidak lagi.
  • 10:14 - 10:20
    Di keraton, itu masih ada
    sistem pemerintahan internal yang monarki,
  • 10:21 - 10:26
    di mana, andaikan sultan itu gubernur,
    dalam keraton itu masih ada dinas-dinas.
  • 10:26 - 10:32
    Kepala dinas hanya boleh dijabat oleh
    keturunan sultan yang sedang bertakhta.
  • 10:33 - 10:35
    Jadi, kalau dulu-dulu itu
    ke paman-paman saya,
  • 10:36 - 10:40
    kali ini, adalah jatuhnya
    ke anak-anaknya HB X.
  • 10:40 - 10:42
    The problem is
  • 10:42 - 10:47
    tempat perempuan di divisi-divisinya
    keraton dulu itu hanya satu,
  • 10:47 - 10:48
    yaitu di dalam kepara,
  • 10:48 - 10:51
    kalau mungkin pernah lihat,
    yang pada pakai kemben,
  • 10:51 - 10:58
    itu tugasnya lebih ke pekerjaan
    manual labor domestik,
  • 10:58 - 11:02
    jadi menyiapkan upacara, membersihkan,
    dan sebagai macam.
  • 11:02 - 11:07
    Untuk tugas administrasi dan strategis,
    seperti pengelolaan aset keraton,
  • 11:07 - 11:10
    itu semua isinya laki-laki,
    dan hanya boleh laki-laki.
  • 11:11 - 11:16
    Jadi, salah satu konsekuensi
    sultan hanya beristri satu,
  • 11:16 - 11:20
    anaknya perempuan semua,
    ada lir gumanti,
  • 11:20 - 11:25
    perubahan di dalam struktural keraton,
    di mana kami juga generasi pertama,
  • 11:25 - 11:28
    kepala dinas yang perempuan semua.
  • 11:28 - 11:32
    Dan akhirnya, semua divisi keraton
    sekarang ada perempuannya.
  • 11:33 - 11:38
    Yang mungkin agak susah juga diterima
    adalah karena kami sebagai anaknya sultan,
  • 11:38 - 11:42
    itu posisinya berada
    langsung di bawah sultan.
  • 11:42 - 11:45
    Suami-suami kami yang notabene
    suka dibilang, mungkin suami itu
  • 11:45 - 11:48
    kepala keluarga atau apa pun,
    mereka posisinya di belakang.
  • 11:49 - 11:52
    Kalau lagi berdiri begini,
    yang di depan kami, mereka di belakang.
  • 11:52 - 11:56
    Undangan resmi itu adalah
    GKR Hayu dan KPH Notonegoro,
  • 11:56 - 11:59
    tidak pernah KPH Notonegoro dan Ibu.
  • 11:59 - 12:02
    Tidak semua laki-laki
    bisa menerima hal ini.
  • 12:04 - 12:08
    Bahkan, yang pertama adalah
    kakak nomor dua saya,
  • 12:08 - 12:14
    GKR Condrokirono itu ditunjuk sebagai
    Pengageng Kawedanan Panitrapura,
  • 12:14 - 12:16
    posisinya seperti sekda.
  • 12:18 - 12:21
    Secara struktural, waktu itu
    ada beberapa abdi dalem
  • 12:21 - 12:24
    yang kebetulan juga kerabat
    yang cukup dekat,
  • 12:24 - 12:28
    mereka mengajukan keberatan
    kepada sultan.
  • 12:28 - 12:33
    Mereka tidak mau punya bos
    yang perempuan dan lebih muda.
  • 12:34 - 12:37
    Waktu itu, jawaban Ngarso Dalem
    hanya satu,
  • 12:37 - 12:40
    "Kalau kamu tidak terima
    dengan keputusan saya,
  • 12:40 - 12:42
    keluar dari keraton."
  • 12:46 - 12:51
    Jadi, memang saya ingin mengajak
    kalian menyadari
  • 12:51 - 12:55
    bahwa diskriminasi,
    perbedaan perlakuan antara
  • 12:55 - 13:00
    mendidik anak perempuan dan laki-laki
    itu sudah dimulai sejak dini di rumah.
  • 13:01 - 13:05
    Mungkin semua anak dipersilahkan
    mengejar cita-citanya setinggi langit,
  • 13:05 - 13:08
    yang laki bisa langsung lari,
    yang perempuan tunggu dulu,
  • 13:08 - 13:10
    kerjaan rumah sudah beres belum?
  • 13:10 - 13:13
    Begitu juga untuk wanita karier,
    di mana, OK,
  • 13:13 - 13:15
    istri saya saya bolehkan kerja kok,
  • 13:15 - 13:18
    tapi suaminya tidak membantu
    sedikit pun di rumah.
  • 13:18 - 13:20
    Jadi, seorang wanita karier itu
    diperlakukan
  • 13:20 - 13:23
    dia bekerja seperti tidak punya keluarga,
  • 13:24 - 13:26
    atau pun dia di rumah,
  • 13:26 - 13:30
    diharuskan mengurus rumah
    seperti dia tidak punya pekerjaan.
  • 13:30 - 13:33
    Jadi, saya kepingin mengajak semua,
    yang laki, yang perempuan,
  • 13:33 - 13:36
    untuk aware, dan saya ingin mengajak
  • 13:36 - 13:39
    untuk kita memutus rantai itu
    sampai di sini saja,
  • 13:39 - 13:42
    jangan diteruskan lagi.
  • 13:42 - 13:47
    Karena bukan hanya perempuan
    yang dirugikan dengan ini,
  • 13:47 - 13:52
    laki-laki pun akhirnya diharuskan,
    sebagai kepala keluarga terdoktrin
  • 13:52 - 13:56
    kalian harus lebih dari istrinya,
    kalian harus lebih dari anak-anaknya.
  • 13:57 - 14:01
    Sehingga, itu beberapa diartikan
    sebagai tidak boleh kurang dari istrinya.
  • 14:01 - 14:05
    Akhirnya, kalau istrinya pintar, ya,
    "Saya mau punya istri yang pintar,
  • 14:05 - 14:09
    tapi selama dia tidak lebih pintar
    dari suaminya."
  • 14:09 - 14:14
    Akhirnya, dia cakep dan pinter banget,
    tapi saya minder.
  • 14:15 - 14:18
    Ketika perempuan disemangati
  • 14:18 - 14:20
    untuk kejarlah cita-citamu
    setinggi langit,
  • 14:20 - 14:26
    kejarlah edukasi setinggi-tingginya,
    yang laki agak kesusahan mengikuti.
  • 14:26 - 14:32
    Sehingga, ketidakpercayaan diri itu pun
  • 14:32 - 14:35
    menjadi ganjalan
    para laki-laki itu sendiri.
  • 14:35 - 14:41
    Mungkin, jadi gunjingan tetangga,
    kalau penghasilan istrinya lebih tinggi.
  • 14:41 - 14:44
    Tapi, yang penting adalah
    keluarga kalian sendiri.
  • 14:44 - 14:47
    Omongan orang tidak ada habisnya.
  • 14:48 - 14:55
    Saya beruntung punya dua role model
    yang sangat saya segani.
  • 14:55 - 15:01
    Bapak, sebagai seorang suami dan ayah
    yang tidak pernah sekali pun bilang,
  • 15:01 - 15:03
    "Ini bukan pekerjaan perempuan."
  • 15:03 - 15:07
    Bahkan, untuk orang-orang yang menyarankan
    beliau untuk menikah lagi,
  • 15:08 - 15:11
    beliau hanya tertawa,
    "Bukan itu masalahnya."
  • 15:12 - 15:16
    Bahkan, akhirnya, beliau memutuskan
    untuk mendidik semua anak perempuannya
  • 15:16 - 15:21
    supaya bisa berdiri di panggung yang sama
    dengan laki-laki.
  • 15:23 - 15:28
    Jadi, pesan saya,
    be the role model that you need.
  • 15:29 - 15:33
    Akan selalu ada orang lain yang mengalami
  • 15:33 - 15:39
    kebingungan, keputusasaan
    yang pernah kalian alami dan lalui.
  • 15:39 - 15:45
    Jadi, jangan pusing bahwa,
    "This is not gonna make a difference."
  • 15:45 - 15:49
    Yang penting action-nya,
    no matter how small
  • 15:49 - 15:54
    karena akan selalu ada orang
    yang membutuhkan itu, you never know.
  • 15:55 - 15:59
    Mungkin, dari saya sekian,
  • 15:59 - 16:01
    dan terima kasih.
  • 16:01 - 16:03
    (Tepuk tangan)
Title:
Menjadi Putri Kerajaan Jawa Modern| Gusti Kanjeng Ratu Hayu | TEDxMlatiWomen
Description:

Putri Hayu dibesarkan dalam keluarga kerajaan yang tidak pernah menyuruhnya menyesuaikan diri dengan anggapan masyarakat dalam bertindak sebagai seorang putri kerajaan. Oleh karena itu, dia menempuh jalannya sendiri dan menjadi ahli IT. Dia percaya, terlepas dari budaya patriarki yang ada, perempuan mampu menentang stereotip dan membangun jalan menuju kesuksesan. Sosok GKR Hayu sebagai pekerja profesional telah mengubah persepsi masyarakat dalam peran dan status perempuan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

GKR Hayu merupakan putri keempat dari Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Dia pernah menjadi produser game untuk perusahaan game global Gameloft. Saat ini, GKR Hayu merupakan CIO Tepas Tandha Yekti, yaitu sebuah departemen baru di Keraton Yogyakarta yang mengelola informasi, teknologi, dan komunikasi. GKR Hayu mempelajari manajemen desain dan Proyek TI di Universitas Bournemouth, sebelum melanjutkan gelar masternya di Universitas Fordham.

Ceramah ini diberikan di acara TEDx menggunakan format konferensi TED, tetapi diselenggarakan secara mandiri oleh komunitas lokal.

Pelajari lebih lanjut di https://www.ted.com/tedx

more » « less
Video Language:
Indonesian
Team:
closed TED
Project:
TEDxTalks
Duration:
16:08

Indonesian subtitles

Revisions