Dalam banyak negara di Barat,
Anda terpisah dari pengolahan limbah.
Anda memasukkan sampah ke tong sampah dan secara ajaib itu menghilang.
Seseorang datang untuk itu. Anda tidak harus berpikir tentang hal itu, karena semuanya sudah diatur.
Di sini, karena sebenarnya tidak ada sistem pengelolaan sampah make Anda harus
memikirkannya. Anda dihadapkan dengan hal itu. Jadi meskipun masalahnya benar-benar buruk, ada juga
sisi positif, karena Anda harus mengakui masalah dan
berurusan dengannya. Jadi dilihat dari sisi itu, benar-benar ada kesempatan
untuk orang menghadapi
konsumsi mereka, polusi mereka.
Bali memiliki masalah setiap tahun
pantai kami setiap satu tahun sekali
penuh dengan sampah plastik, misalnya di Kuta
Menurut pemerintah, ini disebabkan
pasang laut. Ini bukan tentang
pasang laut menurut saya, tetapi orang masih membuang
sampah plastik ke sungai atau ke
kanal dan sampah mengalir ke laut, laut akan membawanya kembali
ke darat.
Pengelolaan limbah seperti tanah tanpa tuan, iya kan?
Maksud saya, Anda hampir dapat melakukan
apapun yang Anda inginkan tanpa pernah tertangkap. Tetapi masalah sampah
mempengaruhi semua orang, baik kaya maupun miskin, dan jika Anda tidak bisa menghadapi
masalah dasar itu—polusi dari limbah Anda—maka bagaimana
Anda akan berurusan masalah besar dan lebih kompleks, seperti deforestasi
penghancuran terumbu karang, dan perubahan iklim. Maksud saya, ini adalah masalah
yang lebih mudah untuk ditangani. Jika Anda berbicara tentang
masalah limbah di Bali,
dari perspektif saya
Anda bisa berdebat tentang hal itu, tapi sebenarnya
budaya asli
orang Bali adalah benar-benar
bersih, dalam rumah tangga mereka. Mereka bangun dini hari,
jam 5:00 pagi, dan sudah mulai
membersihkan rumah serta halamannya, dan
sebelum matahari terbenam, mereka melakukan yang sama
mereka bersih-bersih dan membuang semua sampah ke
suatu lahan
yang disebut "tegalan,"
lahan di mana Anda menanam atau memelihara sesuatu,
Anda memelihara babi di sana atau yang lain. Ada lahan khusus
untuk menempatkan semua sampah. Tetapi jaman dulu
seperti 25 atau 30 tahun yang lalu,
sebagian besar dari sampah adalah organik
dan orang Bali, kebanyakan
orang Bali, masih melakukan praktek budaya ini,
hanya bahan sampah telah berubah.
Sekarang sampah berisi plastik. / "Limbah" merupakan konsep buatan manusia.
Tidak ada konsep itu sebelum
tahun 50-an dan 60an. Semua sampah adalah organik, dan tidak ada banyak materi buatan manusia.
Dulu kebanyakan benda akan dibungkus daun pisang. Misalnya,
canang (persembahan ritual), persembahan harian yang saat ini bisa dibeli di pasar,
sekarang dibungkus dalam kantong plastik "single use", yang
sangat tipis, plastik kepadatan tinggi yang digunakan sekali saja,
kemudian dibuang karena kantongnya terlalu tipis untuk digunakan ulang.
Dulu, semua canang akan dibungkus dalam daun pisang. Tapi mungkin
apa yang terjadi juga disebabkan perubahan gaya hidup - makanan juga
dulu dibungkus daun pisang - perubahan gaya hidup ini disebabkan
banyaknya produk tersedia
di pasar sekarang. Di masa lalu, saya tidak berpikir bahwa persembahan,
misalnya, akan
dijual sesering sekarang. Tetapi saat ini, banyak orang bekerja,
langsung atau tidak langsung, di dalam industri pariwisata,
sehingga semakin sering orang harus
membeli barang-barang yang dulu mereka tidak perlu membelinya.
Dulu tidak ada kebutuhan temporer seperti sekarang.
Secara tradisional di Indonesia, dan tentu di Bali,
kebanyakan orang tidak ingin membayar pembuangan sampah. Mereka tidak pernah
memiliki layanan itu. Mereka terbiasa membuang sampah di belakang rumahnya, membakarnya,
atau membuang ke sungai, dan kebiasaan itu menjalar ke kelakuan bisnis.
Orang-orang memiliki restoran atau hotel dan
mereka mengambil pendekatan yang sama. Mereka hanya ingin "mengeluarkannya" dan
tidak pernah berpikir harus membayar untuk pengelolahan limbah. Hanya perlu membuangnya ke lahan terbuka
atau ke sungai, dan selesai. Situasi ini semakin rumit
karena banyak hotel besar
menghasilkan limbah yang besar, tapi ada banyak barang berharga juga di dalamnya.
Jadi ada sektor pemulungan yang tidak resmi yang menawarkan kepada
hotel dan perusahaan, "Kami melayani pengumpulan sampah,
gratis, dan kami akan membeli sampah Anda."
Tetapi mereka tidak benar-benar membeli sampah. Mereka membeli akses ke barang-barang daur ulang.
Mereka mengambil barang bernilai, dan yang tidak bernilai, tebak kemana akan dibuang:
ke sungai, pinggir jalan, kemana saja. Anda benar-benar mendapat apa yang telah Anda bayarkan,
dan jika limbah dijual atau pengumpul sampah dibayar sedikit saja, pulau ini akan menjadi kotor.
Dan bagi sektor pariwisata, jelas kepentingan mereka untuk tidak mempunyai pulau yang kotor.
Jadi mereka harus mulai sadar jika ingin limbah benar-benar
diurus, sampah yang tidak bernilai harus dikenakan biaya pengelolaannya.
Masalah lain di Bali bahwa sampah plastik sering dibakar.
Ini dapat membuat banyak masalah. Penyakit
pernafasan adalah yang paling umum
di Bali. Ketika asap sampah plastik
yang sedang dibakar dihirup oleh orang, khususnya
pada kecepatan pembakaran biasa - karena ini bukan
pembakaran panas tinggi yang tidak beracun seperti yang panas rendah -
biasanya gundukan sampah terbakar lambat dan membara lama, sehingga
bisa mengakibatkan banyak masalah kesehatan manusia dan kualitas udara.
Pikirkan semua barang yang kita punya, yang
benar-benar tidak bermanfaat. Misalnya kantong plastik yang digunakan
selama 15 menit, kemudian akan bertahan
sampai turun temurun.
Itu benar-benar gila.
Dan tidak hanya kantong plastik, tapi ada juga
pipet plastik dan
botol plastik...Kenyataan bahwa sebuah botol plastik
biasa yang berukuran 600ml -
menghabiskan minyak seperempat berat bersihnya
untuk menghasilkan botol tersebut, itu sangat membingungkan. Ketika Anda membeli air dalam botol plastik,
Anda tidak membeli airnya, tetapi minyak mentah.
Di Bali, orang tidak menyadari berapa banyak botol
yang dibuang. Dari botol air saja, ada lebih dari 3 juta botol
yang dibuang per hari, itu belum mencakup semua jenis botol minuman lain,
dari minuman soda sampai minuman energi
dan sebagainya. Meskipun Anda mampu mendaur ulang
sampai 90%, masih akan ada 300.000
botol yang dibuang ke
lingkungan setiap hari. Ini tidak dapat diterima. Ini omong kosong.
Di Bali kami menghasilkan 20.000
meter kubik limbah setiap hari. Jika rata-rata 15% dari jumlahnya
berbahan plastik, berarti kami menghasilkan
3.000 meter kubik limbah plastik setiap hari.
Menurut saya plastik adalah sumber daya yang sangat berharga. Bahannya ditambang,
minyak dibor dari tanah dan menjadi
produk yang sangat berguna, jadi harus benar-benar
dihormati sebagai sumber daya terbatas, dan digunakan terus menerus.
Argumen kami
sebagai kampanye tidak berhubungan langsung dengan plastik, melainkan dengan kebiasaan konsumsi,
dan kebiasaan kami terhadap budaya temporer
yang telah diciptakan. Orang-orang datang ke Bali
dan mereka telah melihat brosur, pernah mendengar atau membaca tentang Bali,
dan mereka sudah memiliki "gambar" Bali,
dan mereka telah
cukup terkejut melihat apa yang terjadi, seperti apa situasi yang sebenarnya.
Ada cerita ketika saya diminta membantu hotel yang mempunyai
masalah sampah yang dibuang persis di depan pintu masuk.
Ada pembuangan sampah besar yang dibakar hampir setiap hari,
dan asap berhembus langsung ke lobi hotel,
melalui restoran, sampai pantai. Dan jelas itu tidak bagus untuk bisnis.
Jadi mereka telah menghubungi setiap kantor pemerintahan
bahkan meskipun menelepon ke kantor gubernur untuk minta bantuan menangani masalah ini,
tidak banyak yang bisa dilakukan. Karena parahnya masalah, mereka minta bantuan kami.
Saya mengunjungi hotel untuk melakukan survei singkat,
Waktu itu, saya bekerja di LSM, dan hotel bersedia membayar kami untuk melakukannya.
Jika kami tahu berapa banyak uang yang sudah hotel habiskan,
kami akan meminta biaya yang lebih besar. Tapi kami melakukan survei,
dan apa yang kami temukan adalah sebagian besar sampah yang dibakar di depan hotel dimiliki hotel sendiri,
Ternyata, hotel telah membuat masalahnya sendiri. Dan itu diakibatkan
penjualan sampah hotel kepada pemulung lokal,
dia hanya mau mengambil apa yang berharga, dan sisanya dibuang di timbunan sampah yang lama.
Kebetulan, timbunan sampah itu berada sebelum hotel dibangun.
Pihak hotel tidak pernah menyeberang jalan untuk melihat timbunan sampah, mereka seharusnya melihat logo hotel.
Reaksi mereka pada awalnya akan adalah, "Kami harus
memecat orang ini." Dan saya sarankan "Itu tidak akan berhasil. Jika Anda mengantinya dengan orang lain,
situasi akan tetap sama. Sumber masalah ini bukan pemulung. Masalahnya
adalah Anda meminta dia untuk membayar sampah ini.
Seharusnya Anda membayar dia untuk membawa sampah ke
TPA yang tepat. Inilah ide yang baru bagi mereka. Mereka telah
terbiasa menjual sampah mereka. Itu benar-benar gila!
Dan mereka sadar sistem harus diubah,
dan itu keputusan mudah karena mereka telah mengalami kerugian puluhan juta
rupiah per hari. Mereka kehilangan banyak sekali uang. Jadi untuk beralih dan membayar
seorang pemulung beberapa juta rupiah per bulan untuk mengurusnya, itu
masuk akal. Setiap tahun, Bali dikunjungi kira-kira
4 juta wisatawan domestik dan 3 juta wisatawan internasional.
Selain itu, Bali memiliki jumlah populasi yang hampir mencapai
4 juta. Jadi bisa dibayangkan bahwa
sumber daya yang digunakan setiap wisatawan
adalah 4 kali lebih banyak
dari orang lokal. Apa yang akan terjadi dengan semua
sampah mereka dihasilkan mereka? Mungkin ada TPS yang terletak
di tepi sungai, dan jelas mengapa semua sampah ini berakhir di laut.
Itu mungkin datang dari tempat-tempat di mana Anda tinggal,
atau makan. Salah satu
pendukung utama yang menentang pembuangan ilegal sering mengulangi kutipan,
"mereka menghasilkan uang di Ubud, dan kami mendapatkan sampahnya".
Mungkin karena lokasinya,
dan juga perjanjian dan penerimaan dari
pengambil keputusan sebelumnya untuk memungkinkan sampah
masuk. Jadi mereka berkata, "Wah, hebat! Kita memiliki tempat, dan ada kesepakatan,
dan lihat: Sampah kami sebenarnya membantu Anda untuk membangun jalan baru,
itu akan menghubungkan tanah-tanah yang
sebelumnya tidak terjangkau". Jadi, saya benar-benar
percaya bahwa mereka merasa ada pertukaran yang
saling menguntungkan. Hanya
baru-baru ini, mereka menyadari kesepakatan ini mungkin tidak begitu bermanfaat,
dan menghentikan itu, dan
sebetulnya kepala desa mampu melaksanakan penghentian,
mendukung dan mewujudkannya.
Pemerintah Bali telah membuat sebuah rancangan: "Bali Go Clean and Green".
Ini adalah agenda utama dalam pemerintah kami sekarang;
bagaimana untuk membuat Bali lebih berkelanjutan, lebih eko,
lebih hijau, iya kan? Sebenarnya kalau kami lihat
rancangannya, itu sudah bagus. Perencanaan
jangka pendek, menengah dan panjang sudah bagus.
Kemudian kebijakan
perencanaan ini didasarkan pada 3 agenda
utama. Pertama: pendidikan, formal maupun informal.
Yang kedua, melibatkan sektor swasta,
seperti perusahaan yang
beroperasi di Bali. Pariwisata adalah industri yang paling
besar, tetapi sampah dan
polusi juga diakibatkan industri besar.
Dan yang ketiga adalah
menyangkut tindakan masyarakat.
Sebenarnya ada banyak orang yang
peduli masalah ini tetapi mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan, dan mereka
frustrasi dengan keadaannya. Tetapi ketika diberikan contoh-contoh seperti ini,
kemudian mereka ingin bergabung, dan itu yang sedang terjadi sekarang.
Saya rasa ada banyak gerakan akar rumput
di Bali, baik didirikan oleh LSM
maupun komunitas lokal,
yang sudah membangun gerakan tepat
dan memberi penyadaran kepada penduduk lokal
bagaimana memisahkan sampah
dan membuat kompos dari sampah
organik. Tapi sekarang, menurut
saya, ini masih gerakan kecil.
Jadi, supaya akan berhasil,
kami harus melibatkan—atau memberikan tekanan sosial—
pemerintah untuk membuat undang-undang daerah, seperti "perdau" atau "awig-awig"
untuk membuat perubahan yang lebih signifikan,
agar lebih efektif dan efisien.
Kami berkonsultasi dengan pemimpin masyarakat dan mendengar bahwa mereka memiliki
rencana besar untuk mencoba merevitalisasi perekonomian desa mereka
melalui program wisata budaya dan ekowisata
yang baru saja diluncurkan sekitar satu setengah tahun yang lalu.
Selain membantu
merumuskan program pariwisata mereka—karena mereka meminta saran kami
sebagai orang asing,
kami juga sarankan terhadap persoalan pengelolaan sampah yang
masyarakatnya telah mengurus selama
sekitar 15 tahun yang lalu, dan ada orang-orang masyarakat tersebut yang telah
dimulai sekitar 15 tahun yang lalu, dan ada orang-orang didalam masyarakat tersebut yang telah
memprotesnya sejak itu.
Kebetulan sekitar
setahun lalu kami memulai proyek dengan masyarakat ini, tempat pembuangan sampah ilegal itu,
telah tertutup setelah 15 tahun beroperasi,
Bagi kami, itu adalah keberhasilan monumental bahwa desa
dapat mencapai itu. Benar-benar sukses yang cukup besar.
Namun, sistemnya kurang sempurna sekarang karena
sampah masih harus ditangani. Tetapi keputusan untuk menghentikan
14 truk yang dulu masuk setiap hari,
dan membawa sampah dari luar desa,
adalah keputusan yang buat kami merasa benar-benar bangga
dengan masyarakat yang mampu mencapai itu.
Saya yakin itu bisa direplikasi di desa lain.
Tentu saja visi dan keinginan bersama harus ada.
Mungkin orang merasa sudah menyerah dan berpikir "Apa yang akan saya lakukan"? Tapi sebenarnya banyak
bisa dilakukan, dan harus dimulai. Mungkin dari hal kecil,
tetapi harus dimulai. / Jika Anda memiliki sebuah peternakan organik
di rumah Anda, bahkan yang kecil,...
itu akan mengurangi
masalah sampah secara efektif. Misalnya,
sampah yang dari dapur saya sendiri:
adalah kurang lebih 70%
organik. Saya mempunyai kotak kompos. Saya menempatkan
sampah organik ini ke dalam kotak kompos,
karena ini akan kembali ke alam, ke
kebun sayuran saya. Kemudian sisanya, 30%,
kebanyakan sampah yang non-organik ini
bisa didaur ulang,
juga mempunyai nilai ekonomis, karena
di Bali ada "pemulung" yang bekerja sebagai
pengumpul sampah. Kadang-kadang mereka membelinya dari
setiap rumah tangga. Mereka akan berjalan kaki keliling sambil memanggil, "Barang bekas,
barang bekas", berarti "sampah", kemudian
mereka akan membelinya. Mereka mempunyai harga yang bagus untuk barang plastik, botol, seperti
botol bir, kertas,
aluminium, logam, baja, dan tembaga. Mereka
memberikan harga yang benar-benar tinggi,
dan sebagian besar dari 30% sampah non-organik
ini, yang berasal dari dapur bisa didaur ulang, jadi bisa
dijual, atau diberikan saja kepada pemulung.
Jadi, kira-kira 25% dari sampah saya akan
didaur ulang, untuk menjadi sesuatu yang bernilai, seperti barang baru,
dan sisa 5% dari sampah ini
adalah benar-benar limbah. Materi seperti
plastik lembut, seperti kemasan biskuit
atau kantong plastik.
Jadi, menurut saya, hanya
5% dari semua sampah dapur akan berakhir di TPA karena kita sudah tidak bisa mengolahnya lagi.
Saya pikir tempat pembuangan tidak akan
penuh begitu cepat. Saya pikir cara yang paling praktis sekarang,
karena Bali belum memiliki fasilitas pengelolaan limbah,
setidaknya yang tepat, adalah untuk fokus pada pencegahan limbah: Setiap rumah tangga
bisa melakukan itu. Misalnya bawa tas Anda sendiri ketika belanja, bawa keranjang Anda sendiri,
bawa botol Anda sendiri, sehingga Anda tidak
menambah jumlah limbah. Mungkin tindakan ini terlihat kecil.
"Ini hanya satu kantong plastik"!
Saya pernah bekerja dengan sekelompok siswa, dan kami minta mereka
mengamati berapa banyak kantong plastik dibawa ke dalam rumah tangga mereka
setiap hari. Dan satu siswa melaporkan,
"5 kantong plastik". Ok, mari kita menghitung.
Dalam sebulan akan berjumlah 150.
Berapa banyak orang, berapa banyak keluarga, kurang lebih,
yang ada di banjar Anda? Dia menjawab, "55". Berarti dalam setahun,
akan ada lebih 10.000 kantong plastik. Itu banyak.
Saya pernah mengalami ini, karena ketika kami bicarakan plastik misalnya,
masalah besar di Bali, dulu saya mencoba untuk menjalani satu
bulan tanpa plastik.
Kami menyebutnya "plastic diet," hanya untuk mendapatkan
data tentang bagaimana sulitnya hidup tanpa plastik,
untuk meminimalkan sebisa mungkin pengunaan plastik.
Tindakan ini bisa dilakukan.
Ketika kita berbelanja, kita hanya perlu bawa tas kita sendiri,
keranjang kita sendiri, jadi tidak begitu sulit.
Kepada banyak pelanggan, kami menyediakan laporan daur ulang bulanan.
Jadi mereka mendapatkan selembar kertas yang mencatat benda-benda
yang dapat didaur ulang: seberapa banyak aluminium, botol plastik,
plastik yang lain, kertas, dan sebagainya. Kemudian kami mencatat
barang-barang buatan manusia yang tidak bisa didaur ulang.
Misalnya styrofoam atau sampah berbahaya. Dan kami mencatat
berapa banyak sampah organik atau limbah makanan, sehingga mereka mempunyai laporan
dari yang sebenarnya mereka hasilkan sendiri. Dan pada awalnya,
mungkin mereka berpikir, "Oh, laporan ini lucu, ini bagus", tapi setelah mereka melihat
hasil sampah dalam 6 bulan atau setahun, mereka paham
berapa banyak sampah yang mereka hasilkan. Dan dalam beberapa kasus, itu cukup
mengejutkan. Jadi ini semacam panggilan untuk mereka sadar kalau
mereka adalah pencemar, mereka harus berpikir tentang dampaknya.
Saya rasa turis mempunyai tanggung jawab besar dari
dampak yang mereka hasilkan di setiap negara yang mereka kunjungi.
Mereka menyumbangkan sebagian besar dari jumlah sampah yang perlu
ditangani. Tetapi
mereka bisa membuat dampak yang positif. Mungkin di hotel yang
mereka pilih untuk tinggal, mereka bisa memastikan dengan bertanya, "Ok, apakah
kebijakan lingkungan hotel ini? Bagaimana limbah hotel dibuang? Saya ingin memastikan
bahwa limbah yang saya hasilkan di hotel ini, atau yang hotel hasilkan
akan berakhir di tempat yang tepat, dan tidak akan mencemari sungai
dan berakhir di laut dan benar-benar mengurangi seluruh
pengalaman wisata". Tujuan utama ke suatu tempat
liburanan yang menyenangkan adalah untuk bersantai, mungkin untuk menikmati laut. Tetapi jika ada
banyak sampah di dalamnya, maka jelas itu bukan
yang Anda inginkan. Jadi, tanyakan kepada pihak hotel apa yang mereka lakukan dengan sampahnya.
Sebelum datang ke sini, Anda bisa membuat janji
untuk mendukung sebuah organisasi lokal yang bekerja untuk melindungi
lingkungan, menjaga keindahan dan kesehatan wilayah yang Anda datang untuk menikmati
Anda bisa menyumbang kepada organisasi
nirlaba dan mendukung proyek-proyek mereka.
Pada skala yang lebih besar,
saya ingin melihat perusahaan dan tempat
wisata untuk berkomitmen memberi, misalnya,
1% dari dana yang tamu habiskan di hotel
atau untuk makanan atau tiket penerbangan sebagai donasi
mendukung program lingkungan, atau program hijau. Ada wilayah yang
telah melakukan ini secara efektif. Misalnya pulau Gili Trawangan, yang terletak dekat
Lombok, memiliki Gili Ecotrust, sehingga
sejumlah kecil, kira-kira 1 dolar per hari per wisatawan akan masuk ke
dana itu dan digunakan untuk pengelolaan limbah
atau untuk menangani masalah lingkungan lainnya.
Semua orang ingin untuk menjadi "hijau". Tren itu dimulai oleh beberapa perintis
yang bertindak "hijau", kemudian semua orang ingin bergabung. Tetapi
biasanya, banyak orang hanya menyatakan bahwa mereka "hijau".
Mungkin mereka berniat yang baik, mungkin tidak. Tetapi itu adalah slogan pemasaran saja. Mereka manyatakan "Kami hijau,"
atau "Kami mendaur ulang, kami melakukan itu", tetapi nantinya,
pelanggan dan orang lain akan mengerti bahwa tidak cukup hanya mengatakannya.
Mereka harus membuktikannya, menjelaskan apa yang mereka lakukan.
Meskipun hanya bertanya kepada mereka, itu sudah bisa membantu.
Langkah utama dalam perencanaan pengelolaan sampah apapun
harus ada pencegahan
dulu, kemudian pengurangan dan nantinya Anda mulai melihat...ok,
apa yang bisa dilakukan dengan limbah yang sudah ada? Bisakah digunakan kembali? Jika tidak bisa,
apakah bisa didaur ulang? Harus ada langkah seperti itu
dalam piramida prioritas. Jadi kerjasama yang dilakukan sekarang
adalah mendorong dunia usaha melakukan pencegahan limbah. Kami
menyebutnya "Plastik Detox Bali". Masyarakat kami, saat ini,
kecanduan plastik. Orang
cenderung panik, seperti "Benar? Plastik dilarang"?
Kami harus terus mengingatkan bahwa kami bukan anti-plastik;
plastik memang dibutuhkan. Tapi kita harus belajar menggunakannya dengan bijak.
Untuk membantu
meringankan kecanduan mereka,
kami sarankan mencoba Plastik Detox Bali.
Ada serangkaian tindakan yang wirausaha dapat
ambil: Pertama, kami meminta mereka untuk tidak memberikan kantong plastik
secara gratis. Apa yang saya pikir harus dilakukan di Bali,
mungkin di seluruh Indonesia, tapi pasti di Bali,
adalah mulai mengimplementasikan pajak tas belanja. Orang mesti membayar
kantong plastik. Membayar untuk hak istimewa itu.
Membayar biaya eksternal yang meningkat,
kemudian mudah-mudahan orang akan paham bahwa hak ini tidak gratis, seperti dikira sekarang
dan mereka pikir itu modern. Mereka berpikir gratis adalah modernitas. Bagus, ya? Asik, dong!
Tapi itu tidak benar. Bagaimana dengan biaya untuk
penanganan jangka panjang? Biaya pengobatan untuk orang yang menhirup
dioksin dari proses pembakaran plastik? Bagaimana dengan orang yang memakannya
pada ikan laut? Berapa biaya kesehatan masyarakat yang diakibatkan?
Semua perlu biaya. Miliaran, miliaran dan miliaran
rupiah. Jadi, apakah perlu membuat sistem pengelolaan limbah dulu, atau mulai dengan
pengurangan sampah? Mana yang lebih efisien secara biaya, lebih hemat?
Untuk pemerintah yang bahkan tidak bisa menyediakan air kepada warga di
Denpasar, ada banyak krisis lain yang sedang mendekati pulau ini.
Plastik harus menjadi masalah termudah untuk ditangani. Laksanakan pajak tas plastik. Kemudian
ketika orang sudah sadar, sudah didukung masyarakat: "Wah
tas plastik mahal", kemudian terapkan peraturan larangan tas plastik. Melarang tas plastik.
Melarang kantong plastik yang digunakan sekali. Irlandia? Pengurangan 92% dalam
2 minggu! Mereka hanya melarang kantong plastik langsung, dan itu memungkinkan
di wilayah seperti Bali: Ini adalah pulau. Hanya perlu melarang tas plastik.
Orang akan belajar untuk berurusan dengan itu. Anda belajar.
Pertama atau kedua kali Anda ke toko tanpa membawa tas sendiri, dan
dipaksa membelinya atau kembali ke rumah dan mengambil satu Anda tidak akan lupa lagi.
Pergeseran perilaku instan, iya kan? Instan.
Orang-orang akan mengeluh, tetapi menjadi dewasa, kok!
Kita harus dewasa mengenai lingkungan hidup kita.
Para siswa akan menjadi pemimpin masa depan dalam waktu dekat, dan
mereka harus mampu mengakses
berbagai informasi dalam pendidikannya, dan harus sadar.
Seringkali, bukan hanya di Indonesia, dalam banyak
negara, kurikulum sekolah sudah lama dan tidak relevan dengan
banyak isu yang kini kita hadapi.
Jika kurikulum tersebut
dapat ditanamkan,
kami merasa itu akan efektif, dan membuat anak-anak bersemangat.
Kami memilih sekolah di beberapa wilayah, banyak terletak
di daerah terpencil, dimana sekolah tidak memiliki
layanan pengumpulan sampah, sehingga sekolah biasanya akan membakar
limbah, atau membuangnya di sungai di belakang sekolah. Di sebuah sekolah tinggi, kami
berdiskusi dengan baik masalahnya. Tanpa
mengatakan apa-apa...karena sekolah telah menyediakan minuman,
"Apa yang Anda dapat lakukan
untuk mengurangi sampah dalam kehidupan sehari-hari"?
Tanpa mengatakan apa-apa...karena sekolah telah menyediakan pengantar,
siswa menjawab,
"Ini bisa dihilangkan dan kami dapat mulai menggunakan pembungkus daun pisang lagi.
Jangan menggunakan ini atau itu".
Jadi, saya pikir sebenarnya SMA
adalah sasaran yang cukup penting. Ada banyak program. Itu tidak perlu banyak
dana, hanya membutuhkan sedikit. Dan jika Anda bisa membantu
upaya penggalangan dana supaya program dapat dimulai
atau dipertahankan, itu akan sangat membantu.
Ketika Anda berpikir hal tersebut dalam tingkat global,
apa yang dilakukan masyarakat di masa depan?
Solusi, bagi saya, adalah kembali lagi
untuk melibatkan pemerintah, karena
sebagian besar masyarakat di sini setuju dengan ide
pemisahan sampah atau daur ulang.
"Mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang",
atau "Bali Go Clean and Green".
Semua orang setuju slogan-slogan itu. Tapi apa yang kita bicarakan saat ini,
setelah slogan, gagasan,
apa yang Anda tulis, setelah kata adalah
Anda harus bertindak sekarang.
Yang kita tunggu, sebagai gerakan akar rumput,
yang tetap melakukan apa yang kita percaya
adalah undang-undang pemerintah untuk mendukung aksi ini.
Untuk memulai kebijakan itu dalam skala besar,
maksud saya, pemerintah
perlu campur tangan, dari atas
sampai ke tingkat desa.
Setiap tingkat. Dan dengan otonomi daerah di Indonesia,
gubernur bisa mengatakan harus seperti ini kemudian para bupati
perlu mengikutinya. Mereka harus peduli, benar-benar peduli.
Saya pikir sekarang pemerintah tidak memiliki keprihatinan yang serius tentang masalah sampah
tapi saya percaya, terutama
daerah Bali, karena pemerintahan di Bali sangat
unik, kami memiliki pemerintah formal dan tradisional, dan keduanya sama-sama kuat,
Jika mereka
memiliki keprihatinan yang serius tentang masalah sampah
itu akan bisa disosialisasikan
secara efektif bagi masyarakat. Kami
akan mendukung 100%. Membuatnya jadi nyata.
Tolak Tas Kresek
Plastik, plastik, plastik
Tolak tas kresek. Bali adalah pulau yang cantik,
tas plastik membuat kulit bersisik,
Mari mainkan musik dan dukung Bali yang cantik tanpa plastik.